Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat
Utama

Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat

Upaya meminta euthanasia ke pengadilan pernah dilakukan di Indonesia. Hakim menyentil pemerintah untuk peduli pada pasien orang miskin.

Oleh:
Muhammad Yasin/Aida Mardhatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi euthanasia dengan cara suntik mati. Ilustrator: UCUP
Ilustrasi euthanasia dengan cara suntik mati. Ilustrator: UCUP

Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan kalangan medis, hukum, aktivis hak asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang yang mengajukan euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang melegalkan ‘mati dengan cara baik’ itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke Vervoort. Suntikan dokter mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.

Belgia salah satu negara yang mengakui dan melegalkan euthanasia. Pengakuan hukum terhadap euthanasia malah sudah lebih dahulu di Belanda. Namun sebagian besar negara tak mengakui dan membenarkan tindakan euthanasia. Indonesia termasuk yang tak mengakui hak untuk mengakhiri hidup semacam itu. Ahli hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, berpendapat jika hak untuk mati diakui seperti halnya hak untuk hidup, risikonya besar. Sama saja memberikan legalisasi pada orang yang ingin melakukan bom bunuh diri dengan alasan pengakuan right to die.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M. Choirul Anam, mengatakan euthanasia juga menjadi perdebatan di dunia internasional. Dalam perkembangannya, ada yang mengarah pada legalisasi dengan catatan penting. Pertama, euthanasia dibenarkan karena cukup alasan yang sangat kuat, misalnya kesehatan yang memburuk dan sulit disembuhkan. Kedua, pengakhiran hidup pasien dilakukan oleh orang yang profesional dan bertanggung jawab. Ketiga, dilakukan melalui prosedur yang ketat. “Itu masih menjadi perdebatan,” ujarnya kepada hukumonline.

Begitulah faktanya, sudah banyak literatur di Indonesia yang menulis tentang euthanasia, sebagian besar memuat doktrin dan kode etik kedokteran, serta akibat hukumnya. Sekadar memberi contoh, Kuitert dan F Tengker menerbitkan hampir dua puluh tahun lalu buku ‘Kematian yang Digandrungi: Eutanasia dan Hak Menentukan Nasib Sendiri’. Sebelumnya sudah ada tulisan Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, “Euthanasia: Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana”.

Jejak perdebatan kontemporer tentang euthanasia di Indonesia selalu merujuk pada dua kisah. Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004, Hasan Kusuma mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar isterinya, Again Isna Nauli, diberi tindakan euthanasia. Sang isteri sudah tergolek dalam keadaan koma selama dua bulan, plus kesulitan yang dialami untuk membayar perawatan medis. Tersiar kabar pada saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan euthanasia tersebut.

(Baca juga: Terbentur Masalah Administratif, Penetapan Euthanasia Ny Again Tertunda).

Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan pascasarjana dari salah satu universitas terkemuka ini ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati. Tetapi permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang mengancam dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup. Melalui pengacaranya, Ryan mengajukan permohonan pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2014 lalu, permohonannya dicabut. Alasannya, Ryan sudah punya semangat untuk menjalani kehidupan lagi. Pencabutan permohonan itu disambut positif hakim konstitusi yang memeriksa permohonan ini.

Ditolak pengadilan

Sebenarnya, ada satu kisah yang lebih lengkap dibanding kasus Nyonya Again dan Ryan. Permohonan euthanasia yang diajukan Berlin Silalahi (BS) malah sudah diputuskan pengadilan. Berdasarkan penelusuran hukumonline, permohonan euthanasia diajukan Berlin ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Mei 2017 lalu. Pemohon adalah korban tsunami Aceh yang terjadi pada 24 Desember 2004. Seperti sejumlah korban lain, BS ditempatkan di barak Neuheun Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Selama dua tahun di sana, BS menunggu bantuan perumahan yang layak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait