Fachri Bachmid Nilai Penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai Kebijakan yang Destruktif
Pojok PERADI

Fachri Bachmid Nilai Penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai Kebijakan yang Destruktif

Kebijakan tersebut sangat potensial tidak berlandaskan pada moralitas konstitusional, yang aksentuasinya bukan semata tentang prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum & Perundang-undangan DPN Peradi, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Foto: istimewa.
Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum & Perundang-undangan DPN Peradi, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Foto: istimewa.

Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK pun meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun.

 

Setahun berselang, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Alasannya adalah kepentingan yang memaksa akibat kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah. Hal ini terjadi, sebagai imbas dari perang Rusia-Ukraina.

 

Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI), Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. merespons dan mengkritisi kebijakan pemerintah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut sangat potensial tidak berlandaskan pada moralitas konstitusional, yang aksentuasinya bukan semata tentang prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.

 

“Tetapi hakikatnya pembentukan undang-undang itu wajib berpijak pada moralitas konstitusional yang berada dalam UUD 1945 itu sendiri, yaitu penghormatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat secara penuh dengan menjadikan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’,” kata Fahri dalam siaran persnya.

 

Adapun alasan kegentingan yang memaksa dijadikan sebagai ‘Sine qua non’ sesuai argumentasi pemerintah, dinilai sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat, dengan mengunakan instrumen peraturan darurat ‘rechtnoodverordening’ sesuai norma Pasal 22 UUD 1945. Pasalnya, kondisi serta alasan pemerintah harus dapat sejalan dengan konsep keadaan darurat yang secara doktriner disebut syarat ‘clear and present danger’ (bahaya yang jelas nyata); sehingga dalam menetapkan syarat tersebut tidak boleh asumtif serta kalkulatif.

 

Prinsip dasar dan parameter yuridis dalam mengkonstruksikan suatu sifat dan keadaan kegentingan yang memaksa sendiri telah dirumuskan batasan konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Ini bukan hanya menyangkut keadaan bahaya, tetapi harus juga diartikan dalam keadaan yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 

Merujuk dalil Presiden perihal ancaman ketidakpastian ekonomi global sebagai parameter kegentingan memaksa justru sedikit paradoks, sebab sebelumnya Presiden telah menyampaikan bahwa kondisi perekonomian indonesia termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara anggota G-20 dengan capaian sebesar 5,72% pada kuartal III 2022, dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan. Jadi, syarat objektif ini menjadi tidak reasonable.

Tags: