Fachri Bachmid Nilai Penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai Kebijakan yang Destruktif
Pojok PERADI

Fachri Bachmid Nilai Penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai Kebijakan yang Destruktif

Kebijakan tersebut sangat potensial tidak berlandaskan pada moralitas konstitusional, yang aksentuasinya bukan semata tentang prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit

 

Penting Keterlibatan Publik

Dalam pandangan Fahri, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna setidaknya harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.

 

“Dengan demikian, karena pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi. Ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum. Lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa ‘constitution disobedience’. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perppu maupun UU dari Perppu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah ‘meaningful participation’ itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan,” ujar Fahri.

 

Ia pun menegaskan, MK sebagai ‘the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights, dan the protector of human rights’, dengan kewenangan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah perppu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Secara paradigmatik pengunaan kewenangan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin ‘checks and balances system’ yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi).

Tags: