Fahri Bachmid Hadir sebagai Ahli Presiden dalam Sidang Uji Materiil UU No.2/2021
Pojok PERADI

Fahri Bachmid Hadir sebagai Ahli Presiden dalam Sidang Uji Materiil UU No.2/2021

Otonomi daerah pada konteks NKRI bermakna sebagai bentuk dari verdeling (pembagian) kekuasaan kepada setiap daerah dengan tetap berpegang pada kaidah kesatuan negara dengan batasan-batasan kewenangan tertentu.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit

 

Pembagian/pemberian kekuasaan pada konteks otonomi daerah tentu, disampikan Fahri, tidak dapat dimaknai sebagai distribution of power pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi, meskipun corak otonominya adalah otonomi khusus. Namun, konsep dasar pemberian otonomi tersebut adalah tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah (vide Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) Jo Pasal 18 B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945).

 

“Otonomi khusus kepada Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya,” paparnya.

 

Di samping itu, dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, Fahri menjelaskan perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran; serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.

 

Fahri Bachmid menekankan, otonomi khusus dalam pemberian serta pelaksanaannya tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh negara melalui produk hukum berbentuk UU. Ini bermakna, otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak timbul kesan adanya power terpisah antara daerah otonom dengan negara; konsepsi otonomi tersebut adalah distribution of power, bukan pemisahan kekuasaan dalam arti separation of power.

 

Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (sebelumnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua) adalah perwujudan pengaturan yang utuh dan komprehensif atas otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua.

 

“UU No.2/2021 memberikan defenisi yang jelas dan terukur yaitu bahwa otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua,” jelas Fahri.

 

Provinsi Papua diberikan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara asimetris (tidak sama dengan daerah lainnya). Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46- 48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antardaerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi.

Tags: