Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada
Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:

Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada

Mulai mempertanyakan konsistensi pengacara sengketa pilkada, perbaikan sistem administrasi perkara di MK, hingga wacana pembentukan badan/lembaga khusus peradilan sengketa pilkada.

Oleh:
AGUS SAHBANI/CR-23
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso. Foto: RES
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso. Foto: RES
Sejak menjadi Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu, nama Fajar Laksono Suroso cukup dikenal terutama di kalangan awak media. Dia dipercaya sebagai Juru Bicara MK sejak kepemimpinan Ketua MK Arief Hidayat, lantaran dinilai cukup mumpuni mewakili kelembagaan pengawal konstitusi ini. Maklum, dia cukup aktif berkontribusi dalam kegiatan kelembagaan MK.         Pria kelahiran Yogyakarta 26 Desember 1979 ini mengawali kariernya sebagai Asisten (mantan) Ketua MK Prof Mohammad Mahfud MD pada 2009. Sebelumnya, ia sebagai PNS calon widyaiswara Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang pada Kementerian Sosial.            Sebelum diangkat menjadi Juru Bicara MK, dia tercatat sebagai Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MK sejak 2013. Selain sebagai Peneliti Muda, Fajar juga dikenal sebagai penulis pidato ketua MK sejak 2009 hingga sekarang.     Kini, kandidat doktor ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini tengah menyelesaikan desertasinya berjudul “Relasi MK dengan DPR dan Presiden selaku Pembentuk Undang-Undang.” Selama melakoni Peneliti Muda ini, cukup banyak karya ilmiah yang telah ia hasilkan dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah yang fokus pada kajian politik dan ketatanegaraan.       Seperti, buku berjudul ; Artikel berjudul             Ditemui di sela-sela perhelatan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak kedua ini di Gedung MK, Kamis (29/3) lalu, Fajar Laksono berbagi cerita mengenai banyak hal berkaitan dinamika dan problematika sengketa pilkada di MK. Berikut ini petikan wawancaranya:       Pelaksanaan sidang sengketa pilkada serentak tahun ini tidak jauh berbeda dengan sengketa pilkada serentak pertama pada akhir tahun 2015 lalu. Yang berbeda, hanya pengumuman pendaftaran sejak KPUD mengumumkan penetapan hasil penghitungan suara dan jangka waktu penyelesaian. Awalnya, pendaftaran 3x24 jam menjadi 3 hari kerja dan penyelesaian sengketa pilkada 45 hari menjadi maksimal 45 hari kerja. Karena itu, sengketa pilkada kali ini diperkirakan selesai paling lambat 19 Mei 2017.     Itu merupakan domain (kewenangan) Majelis MK. Sebab, apabila hanya konsisten (terpaku) bunyi Pasal 158 UU Pilkada, MK tidak perlu menyidangkan semua permohonan yang masuk. Tetapi, faktanya MK memeriksa dan menyidangkan semua permohonan kan, mulai sidang mendengarkan permohonan pemohon, jawaban termohon, keterangan pihak terkait. Kalau “dihajar” (konsisten) dengan pasal itu, tidak perlu pakai sidang lagi, “habis” semuanya (permohonan). Karena itu, persoalan terpenuhi atau tidaknya syarat selisih suara itu menjadi domain hakim, tergantung dinamika pemeriksaan dalam sidang (kasuistis). Meski akhirnya, hanya 7 perkara dari 53 perkara yang berlanjut ke sidang pembuktian, 3 diantaranya telah diputus pemungutan suara ulang (PSU) dan penghitungan suara ulang.         Dua kali penyelenggaraan sengketa pilkada serentak ini, rata-rata pemohon, termohon, ataupun pihak terkait memakai jasa pengacara komersil (berbayar) yang menurut mereka memiliki reputasi dan pengalaman berpraktik di MK. Seperti, Refly Harun, Yusril Ihza Mahendra, Habel Rumbiak, Muhajir, Rudy Alfonso, dan lain-lain. Termasuk advokat Sirra Prayuna bersama rekan-rekannya selalu menjadi Tim Pengacara DPP PDIP. Padahal, sebenarnya dia bukan orang PDIP, tetapi pengacara komersil juga yang dibayar DPP PDIP. Kalau dari KPUD sebagian besar dikuasakan firma hukum Ali Nurdin & Partners.          Kalau melihat dari pasangan calon dari kader PDIP mungkin iya, karena sejak awal DPP PDIP menunjuk Tim Bantuan Hukum PDIP dari Kantor Hukum Sirra Prayuna. Ada banyak permohonan sengketa pilkada yang ditangani Sirra Prayuna dkk, diantaranya pilkada provinsi Banten, Yogyakarta, Salatiga, dan lain-lain. Sebab, DPP PDIP yang menyediakan tim bantuan hukum yang rata-rata memakai jasa firma hukum Sirra Prayuna dalam surat permohonannya. Nah, soal ini juga perlu dikonfirmasi ke Sirra Prayuna karena tidak tahu persis. Demikian pula, Tim Bantuan Hukum Partai Nasdem diketuai Taufik Basari dan kawan-kawan (Dkk) dan Advokat Rudy Alfonso yang menangani tiga perkara sengketa pilkada Kabupaten Gayo Lues, Morotai, Aceh Singkil sebagai pihak terkait dari kader Partai Golkar.       Selama dua kali perhelatan sengketa pilkada, sebelum pendaftaran sengketa pilkada dibuka, MK telah memberi bimbingan teknis (Bimtek) terhadap para advokat yang bakal menangani sengketa pilkada termasuk pihak KPU/KPUD setempat. Tentu, hal ini untuk memberi pemahaman yang sama terhadap para advokat/pengacara tentang bagaimana prosedur beracara sengketa pilkada guna menghindari kesalahan-kesalahan dalam praktik. Setelah dua kali menggelar perhelatan sidang sengketa pilkada serentak, tidak menemui kendala berarti dalam praktik beracara sengketa pilkada yang sebagian besar dikuasakan kepada para pengacara ini. Apalagi sebagian besar pengacara/advokat yang menangani sengketa pilkada sudah sering beracara di MK.    Hanya saja, seringkali beberapa advokat atau pengacara menunjukkan sikap tidak konsisten menangani perkara sengketa pilkada ketika berbeda posisi baik mewakili kepentingan pemohon maupun pihak terkait. Misalnya, sengketa pilkada kabupaten A dia sebagai kuasa hukum pemohon, tetapi di kabupaten C dia tampil sebagai kuasa hukum pihak terkait. Apabila dalil argumentasinya di dua kubu yang berbeda tersebut digabung sudah pasti saling bertentangan. Ketika advokat tersebut menjadi kuasa hukum pemohon yang tidak memenuhi syarat selisih suara menggugat yakni 0,5-2 persen, MK diminta melepaskan diri dari syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU Pilkada. Namun, ketika advokat yang sama menjadi kuasa hukum pihak terkait di daerah lain, argumentasi yang disampaikan mesti MK harus menjalankan Pasal 158 UU Pilkada.    Namun, MK tidak mendata persis ada berapa jumlah kasus sengketa pilkada seperti ini karena ini merupakan hak penuh dari setiap pengacara/advokat. Jadi, baginya sikap seperti ini bentuk inkonsistensi seorang pengacara/advokat yang bisa mempengaruhi kredibilitas profesi pengacara, sehingga terkesan memang membela yang bayar.     Kita tidak sampai melihat kesana (calon kepala daerah yang terlibat kasus hukum). Selama ini MK tidak memiliki data calon kepala daerah atau kepala daerah yang terlibat kasus hukum. Sebab, tidak ada manfaat dan kepentingannya juga bagi MK untuk mendata. Lagipula, tidak ada larangan juga calon kepala daerah menggugat sengketa pilkada di MK, itu kewenangan KPUD, pemerintah dan aparat penegak hukum. Kita hanya melihat posisi pemohon sebagai pihak yang kalah saja, kalau dilihat pasangan calon kepala daerah sudah punya , ya sudah.         

Sejak MK berdiri sejak 13 tahun lalu, kejadian ini pertama kali yang tidak diduga sama sekali. Padahal, sistem administrasi perkara di MK selama ini sudah dianggap baik. Tentu tidak fair jika ada kejadian seperti ini lantas sistem administrasi MK dianggap buruk. Jika dibandingkan KPU, belum lama ini, sistem KPU yang sudah sedemikian baik saja bisa di-hack. Lagipula, peristiwa ini terungkap karena terdeteksi dengan sistem CCTV, bukan diberitahu orang, media, atau pihak pemohon.

Alhasil, setelah melihat CCTV ternyata betul ada 2 orang yang mengambil berkas saat bukan jam kerja, pegawai gugus tugas saat itu piket sampai jam 12 malam. Yang pasti, kejadian ini tidak ada sama sekali hubungannya dengan Hakim MK. Sebab, menurut keterangan pihak kepolisian, Kasubag Humas MK berhubungan dengan temannya saat kuliah S-2, kebetulan dia pengacara dan bekas pegawai MK. Nah, orang ini mencari makan di ajang sengketa pilkada, untuk mencari klien dengan mengambil berkas permohonan pilkada Dogiyai. Sehingga, merasa sedari awal dia sudah punya permohonannya agar pihak terkait/termohon bisa dengan mudah menjawab. Baca Juga: Pemohon Sengketa Pilkada Dogiyai Minta MK Usut Tuntas Hilangnya Berkas Permohonan

Atas kejadian ini, apa langkah MK agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi?

Tentu, ke depan sudah pasti, persoalan ini akan menjadi catatan perbaikan sistem administrasi perkara di MK. Sebab, praktik pendaftaran permohonan sengketa pilkada hingga distribusi berkas permohonan ada jarak waktu yang cukup lama. Nah, ke depan celah-celah ini harus ditutup. Misalnya, hari ini berkas permohonan diadministrasikan, hari itu juga berkas di-upload agar menjadi barang (informasi) yang bisa diakses publik, ini supaya tidak lagi orang bisa mencuri-curi berkas, karena berkas sudah menjadi domain publik.

Terkait penanganan sengketa pilkada oleh MK yang bersifat transisi, bagaimana pandangan Anda mengenai amanat pembentukan lembaga khusus mengadili sengketa pilkada? 

Iya, kewenangan mengadili sengketa pilkada hanya sementara hingga dibentuknya lembaga khusus sengketa pilkada sesuai amanat putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, yang telah menghapus kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada dan mengamanatkan pembentukan lembaga khusus mengadili sengketa pilkada. Dalam putusan MK ini, MK memandang sengketa pilkada sejatinya bukan rezim pemilu yang diatur konstitusi, melainkan rezim pemerintahan daerah, sehingga MK tidak berwenang lagi. Awalnya, lembaga/badan khusus sengketa pilkada ini paling lambat harus sudah dibentuk pada 2027. Tetapi, sesuai UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diubah rumusannya menjadi paling lambat lembaga khusus sengketa pilkada pilkada ini harus sudah terbentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional yang diperkirakan pada 2024. 

Namun, secara pribadi tidak terlalu yakin badan peradilan khusus itu akan terbentuk. Sebab, selama ini orang sudah yakin (percaya) bersengketa di MK karena alasan sosiologis yakni pengalaman dan memiliki sumber daya yang sudah terlatih. Terbukti, sampai saat ini konsep badan peradilan khusus sengketa pilkada juga belum jelas. Seperti, ruang lingkup kewenangannya, kedudukannya, pola rekrutmen dan komposisi hakimnya, di bawah lembaga mana, apa lembaga ini bersifat independen dan sentralistik, sifat putusannya seperti apa, dan bakal diatur di UU apa? Semuanya masih sangat abstrak yang harus dirumuskan secara rinci oleh pembentuk UU dengan UU khusus. Tetapi, penafsiran sederhana yang sering dibahas di seminar-seminar, MK dinyatakan sudah tidak berwenang lagi, berarti menjadi kewenangan pengadilan di daerah (rezim pemerintahan daerah) yang berpuncak di MA.




(speech writer)Baca Juga: MK Sidangkan Permohonan Sengketa Pilkada



Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan PresidenPembaruan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang; Desain Konstitusional Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. “Penuangan Makna Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam Kebijakan Negara di Kawasan Perbatasan.”; “Pembangkangan terhadap Putusan MK.”      

hukumonline

Apa yang membedakan sengketa pilkada serentak kedua tahun 2017 ini dengan sebelumnya?

Baca Juga: Ingin Ikut Sengketa Pilkada di MK, Ini Tahapannya

Seperti sengketa pilkada serentak pertama, bagaimana sikap MK terhadap penerapan Pasal 158 UU No. 1 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait selisih 0,5 hingga 2 persen suara sebagai syarat menggugat yang kerap dipersoalkan pemohon?

Baca Juga: Mengawal Sengketa Pilkada yang Berintegritas

Bagaimana pandangan MK mengenai praktik jasa pengacara/advokat dalam sengketa pilkada serentak?  



Sesuai informasi yang diperoleh, Tim Bantuan Hukum dari Parpol mendominasi di sidang sengketa pilkada?



Apakah selama ini para pengacara sengketa pilkada menemui kendala ketika praktik beracara di MK?





Baca Juga: Ketika Konsistensi Pengacara Pilkada Dipersoalkan

Terkait kepala daerah bermasalah secara hukum, apakah selama ini MK memiliki data kepala daerah yang bersatus sebagai tersangka/terdakwa/terpidana yang pernah menggugat sengketa hasil pilkada?

legal standinglegal standing

Tak seperti sengketa pilkada serentak pertama, pelaksanaan sengketa pilkada kedua ini meninggalkan kesan negatif terkait hilangnya berkas permohonan pilkada Kabupaten Dogiyai, bagaimana pandangan Anda?   
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait