Fintech Lending, Mencoba Memahami Makna TKB90
Kolom

Fintech Lending, Mencoba Memahami Makna TKB90

TKB90 digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan fintech dalam menyelenggarakan proses penyelesaian kewajiban pembayaran nasabah peminjam kepada nasabah pemberi pinjaman dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.

Bacaan 5 Menit

Dalam skema ini nasabah pemberi pinjaman akan memiliki perjanjian dan akan menanggung risiko kredit langsung dari nasabah peminjamnya masing-masing. Apabila pemberi pinjaman tidak memiliki portofolio pinjaman yang cukup besar maka risiko kredit yang tinggi dari satu peminjam tidak dapat dikompensasikan dengan risiko kredit yang lebih rendah dari peminjam lainnya.

Dengan demikian, TKB90 90% berarti secara rata-rata ada 10% peluang terjadinya kegagalan nasabah peminjam untuk melunasi pinjamannya kepada nasabah pemberi pinjaman dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo. Dengan kata lain ada risiko sebesar 10% bagi nasabah pemberi pinjaman untuk tidak memperoleh kembali seluruh investasi atau uang yang dipinjamkannya, kecuali jika pinjaman tersebut telah diasuransikan. Risiko ini jelas tidak dapat dibandingkan dengan tabungan bank yang sekalipun menjanjikan imbal hasil yang rendah, tapi baik pokok maupun bunganya dijamin oleh program penjaminan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada.

Apabila dilihat dari jumlah outstanding pinjaman fintech bulan Juli 2020 tersebut  dibandingkan dengan total outstanding pinjaman di industri keuangan, angka sebesar Rp11,94 triliun mungkin memang relatif kecil. Namun jumlah entitas yang terpapar pada risiko ini cukup besar, yaitu sejumlah 663,865 entitas nasabah pemberi pinjaman, dengan nasabah peminjam yang mencapai 9,71 juta entitas. Para nasabah pemberi pinjaman ini adalah mereka yang secara langsung menanggung risiko gagal bayar dalam sektor fintech lending. Sementara itu, dari sisi nasabah peminjam mungkin terdapat banyak penggunaan untuk keperluan konsumtif, tapi tentu tidak sedikit UMKM yang menggunakannya untuk modal kerja.

Asuransi kredit, yang dapat menjamin pelunasan sebagian besar dana nasabah pemberi pinjaman apabila nasabah peminjam wanprestasi, tentu menjadi pilihan utama untuk memitigasi risiko tersebut. Namun jaminan pelunasan oleh asuransi akan mengurangi insentif bagi nasabah pemberi pinjaman untuk merestrukturisasi kreditnya. Penggantian oleh asuransi juga akan memberikan hak kepada asuransi untuk melakukan penagihan langsung kepada nasabah peminjam, dengan metode yang mungkin berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi fintech lending. Kedua hal ini dapat membawa masalah tersendiri bagi nasabah peminjam yang memanfaatkan pinjaman untuk keperluan modal usaha mereka.

Pillihan selanjutnya adalah campur tangan pemerintah untuk memberikan bantuan dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional. Bantuan dapat ditujukan bagi UMKM yang menjadi nasabah penerima pinjaman dan yang kemampuan melunasi pinjamannya terkena dampak pandemi. Namun kembali pada POJK No.77/2016 sebagai perangkat aturan yang ada saat ini tentang fintech lending, fintech bukanlah pihak yang memberi pinjaman. Fintech tidak memiliki kewenangan untuk merestrukturisasi. Fintech hanya dapat memfasilitasi apabila nasabah pemberi dan penerima pinjaman terkait bersedia untuk melakukannya.

Oleh karenanya memang belum ada kerangka aturan fintech yang memungkinkan Pemerintah untuk menyalurkan bantuan dalam rangka merestrukturisasi kredit para nasabah penerima pinjaman. Sementara itu, bantuan langsung kepada UMKM dalam melakukan restukturisasi juga tidak dimungkinkan karena melibatkan sedemikian banyak pihak sekaligus, baik dari sisi pemberi maupun penerima pinjaman.

Pilihan lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan memberikan bridging loan pada para nasabah penerima pinjaman melalui perbankan dengan dukungan dana pemerintah. Melalui mekanisme ini para nasabah pemberi pinjaman dapat mengalihkan tagihannya kepada bank dengan memperoleh pembayaran. Bank akan memperoleh pengembalian atas pengalihan tagihan tersebut setelah melakukan restrukturisasi dengan nasabah penerima pinjaman terkait. Tentu semua dilakukan dalam platform fintech yang bersangkutan. 

Kembali pada data TKB90 bulan Juli 2020. Mengenai apakah TKB90 sebesar 92,01% masih dalam batas toleransi dan telah dimitigasi dengan baik, tentu industri fintech lending sendiri dan pihak otoritas berwenang yang lebih memahami. Tetapi melihat besarnya jumlah entitas atau pihak yang akan terkena dampaknya, kita berharap agar semua telah diperhitungkan oleh para pemangku kepentingan dan agar situasi perekonomian segera membaik dengan langkah-langkah yang telah dan tengah dijalankan oleh Pemerintah.

*)Yosea Iskandar, Praktisi Hukum Perbankan

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait