Freddy Budiman Belum Dieksekusi Mati, Ini Penjelasan Jaksa Agung
Berita

Freddy Budiman Belum Dieksekusi Mati, Ini Penjelasan Jaksa Agung

Kejaksaan tak akan menunggu lama lagi pelaksanaan eksekusi bila MA menolak permohonan PK terpidana.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman masih dapat menghirup udara segar. Upaya mengulur waktu dengan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) membuat Kejaksaan Agung Korps Adhiyaksa terganjal untuk melakukan eksekusi terhadap Freddy. Korps Adhiyaksa mengaku tidak ingin berlama-lama mengeksekusi mati terhadap terpidana narkoba.

“Saya menginginkan Freddy segera dieksekusi,” ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Rabu (11/5).

Prasetyo menilai upaya Freddy dengan mengajukan PK ke Mahkamah Agung sebagai strategi untuk mengulur waktu eksekusi. Upaya hukum luar biasa PK memang menjadi hak terpidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ayat (1) menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

Freddy memang sudah mengajukan PK. Bahkan sidang PK sudah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Oleh sebab itu, pihak Kejaksaan Agung tak dapat melakukan eksekusi. Eksekusi dapat dilakukan setelah adanya putusan PK dari Mahkamah Agung. Prasetyo mengatakan, setelah adanya putusan Mahkamah Agung, pihaknya tak ingin berlama-lama. “Tentunya kita tidak mau menunggu terlalu lama,” ujarnya.

Freddy Budiman merupakan satu nama terpidana dari sekian terpidana yang masuk dalam daftar eksekusi mati gelombang III. Kendati demikian, Prasetyo belum memastikan waktu pelaksaan eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati lainnya. Yang pasti, pihak Kejaksaan Agung telah mempersiapkan segala sesuatunya antara lain telah melakukan koordinasi dengan berbagai instansi. Terkait dengan waktu pelaksanaan eksekusi menjadi ranah pihak Kejaksaan Agung sebagai pihak eksekutor.

Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) itu berpendapat, pihaknya enggan gegabah melakukan pelaksanaan eksekusi. Makanya, Kejaksaan Agung mesti melalui banyak pertimbangan sebelum memutuskan waktu pelaksaan eksekusi. Terkait dengan Mary Jane terpidana mati asal Filipina, Kejaksaan Agung masih menunggu proses hukum di di negaranya terkait dengan kasus perdagangan manusia.

Terpisah, Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap mengatakan meski banyak penolakan dari beberapa negara terkait pelaksanaan eksekusi, pemerintah Indonesia mesti siap. Menurutnya, pemerintah melakukan eksekusi pidana mati bukan kali pertama. Makanya, pelaksanaan eksekusi Jilid III mesti dipersiapkan oleh pihak pemerintah.

Indonesia pun memiliki sejumlah warga negara yang bermasalah secara hukum. Freddy satu diantaranya. Dikatakan Mulfachri, di beberapa negara yang menganut pemidanaan hukuman mati dapat memahami sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Namun keputusan pemerintah Indonesia terhadap hukuman mati tak dapat diintervensi negara mana pun.

“Kita harus respek, karena ini menyangkut kedaulatan di tiap-tiap negara. Saya kira itu prinsip yang berlaku universal,” ujarnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai hukuman mati yang diterapkan dalam hukum positif pun berlaku di beberapa negara lain. Menurutnya, hukuman mati bagi sebagian kalangan melanggar hak asasi manusia. Namun, justru hukuman pidana mati telah melalui proses hukum. Sebaliknya, bila pelaksanaan hukuman mati tanpa melalui proses persidangan peradilan masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia.

“Tapi kalau proses hukum sudah dijalankan bahkan sudah ada upaya kasasi dan seterusnya, saya kira hak asasi mana yang dilanggar,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi 14 terpidana mati sepanjang 2015. Tahap pertama dieksekusi sebanyak enam terpidana pada awal 2015 di Nusakambangan dan Mako Brimob Solo, Jawa Tengah. Keenam terpidan mati itu adalah Tommi Wijaya (warga negara Belanda), Rani Andriani (Indonesia), Namaona Denis (Malawi), dan Marcho Archer Cardoso Moreira (Brasil), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam) dan Daniel Enemuo alias Diarrsaouba (Nigeria).

Tahap kedua, eksekusi mati dilaksanakan di Nusakambangan di akhir April 2015 terhadap delapan terpidana mati. Kedelapan terpidana mati itu adalah i Rodrigo Gularte (Brasil), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria) dan Martin Anderson alias Belo (Ghana).Selain itu, MGS Zainal Abidin bin MGS Mahmud Badarudin (Indonesia), Rahem Agbaje Salami Cardova (Cardova), Myuran Sukumaran (Australia) dan Andrew Chan (Australia).
Tags:

Berita Terkait