Ganti rugi psikis atas korban meninggal?
Imam Nasima(*)

Ganti rugi psikis atas korban meninggal?

Sebuah pernyataan (pertanyaan) hipotetis yang dilontarkan dalam rubrik jeda hukumonline berjudul ‘28 detik ketegangan seharga AS$ 2 juta', menarik minat penulis untuk mencari tahu seluk beluk ganti rugi psikis atas korban meninggal lebih jauh lagi.

Bacaan 2 Menit

 

Dari ketiga hal tersebut, haruslah dipahamiperbedaan dasar tanggungjawab akan berimbas pada berlainannya pertanggungjawaban yang akan timbul. Secara garis besar apa yang akan dihasilkan mungkin tidak jauh berbeda, yaitu diakui atau tidaknya kewajiban untuk mengganti kerugian. Namun, dalam prosesnya tentu saja berbeda.

 

Dalam hal seseorang bertanggungjawab atas dasar kelalaian, misalnya, unsur kesengajaan si pelaku tidaklah sepenting dalam hal pertanggungjawaban atas dasar kesalahan. Unsur kesengajaan bahkan sama sekali tidak berarti untuk pertanggungjawaban atas dasar undang-undang yang lazimnya mengenal apa yang dikenal sebagai pertanggungjawaban kualitatif (strict liability). Pertanggungjawaban seperti ini, pada dasarnya mewajibkan si �pelaku' untuk mengganti kerugian yang timbul seperti yang tercantum dalam aturan undang-undang, baik dengan, atau tanpa kesalahan dari si pelaku. Bila memang kerugian tersebut timbul bukan akibat dari kesalahan pelaku, maka dari pihak pelakulah yang mesti membuktikan hal sebaliknya tersebut.

 

Ketatnya aturan pertanggungjawaban ini biasanya berkaitan dengan kualitas yang disandang oleh pelaku, keuntungan yang mungkin dia dapat, atau adanya risiko yang dianggap menjadi tanggungjawab pelaku. Karenanya, penulis mempertanyakan maksud aturan pasal 43 ayat (1) UU No. 15/1992 berkaitan dengan bukti �kesalahan' pengangkut. �Kesalahan' di sini semestinya diartikan sebagai segala kejadian selain daya paksa (overmacht) dan atau selain akibat kesalahan pihak ketiga atau penggugat sendiri. Mengapa? Karena sudah selayaknya maskapai penerbangan melindungi kepentingan pengguna jasa layanan penerbangan. Bukankah mereka dalam kualitasnya sebagai penyedia jasa harus memastikan aman dan nyamannya jasa yang dia berikan?

 

Dalam konteks meta-yuridis (filsafat/teori hukum) pertanggungjawaban seperti ini dilandasi oleh konsep keadilan distributif (lihat juga konsep keadilan korektif dan keadilan distributif Aristoteles dalam Ethica).

 

Sehingga, meski penulis sependapat dengan masih �ringannya' aturan atau ketentuan berkaitan dengan pertanggungjawaban maskapai penerbangan di Indonesia, penulis tidak sependapat bahwa ini berhubungan dengan besar kecilnya nilai ganti rugi seperti pembandingan kasus Mandala dengan kasus America Airlines. Ganti rugi yang diberikan pada kasus America Airlines dibangun dari tuntutan pertanggungjawaban atas dasar kelalaian.

 

Tuntutan pertanggungjawaban tersebut tentu saja membutuhkan penjelasan yang berbeda dari nilai ganti rugi tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Bukankah kita tidak bisa mengatakan bahwa jika A adalah lima, maka 5 X B dengan sendirinya adalah dua puluh lima? Untuk lebih jelasnya penulis akan mengulasnya lebih lanjut pada paragraf berikut.

 

Ganti rugi psikis

 

KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Oud BW belum mengenal adanya ganti rugi atas cedera psikis. Kerugian immaterial (kerugian selain harta kekayaan) yang diakui oleh KUH Perdata adalah ganti rugi atas luka atau cacat (pasal 1371) dan ganti rugi atas cemarnya nama baik (pasal 1372) yang bersumber dari actio iniuriarum dalam sistem hukum Romawi. Mesti dimaklumi, bahwa ini terjadi karena memang konteks ditetapkannya Oud BW sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu (1838).

Tags: