Gawat! Ditengarai Ada Pasal “Guantanamo” di RUU Terorisme
Berita

Gawat! Ditengarai Ada Pasal “Guantanamo” di RUU Terorisme

Ada pasal yang memberi kewenangan kepada aparat untuk membawa atau menempatkan orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gawat! Ditengarai Ada Pasal “Guantanamo” di RUU Terorisme
Hukumonline
Revisi UU Terorisme belum resmi dibahas di DPR, namun wacana terhadap draft revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) usulan pemerintah terus berkembang di masyarakat. Anggota Komisi III DPR dari PPP, Arsul Sani, mengatakan draft revisi UU Terorisme masih berada di pimpinan DPR, belum dilakukan rapat di Badan Musyawarah untuk menentukan kapan revisi itu mau dibahas. Mengingat ancaman terorisme di tingkat global, ia yakin pembahasan revisi UU Terorisme akan jadi prioritas.

Arsul menjelaskan secara umum draft revisi UU Terorisme berisi perluasan penalisasi dan kewenangan aparat dalam tindak pidana terorisme. Menurutnya, itu perlu dikritik, misalnya ada ketentuan dalam draft revisi UU Terorisme yang memberi kewenangan terhadap aparat untuk melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu paling lama 6 bulan.

“Jangan sampai ini seperti 'Guantanamo’,” kata Arsul dalam diskusi yang digelar LPSK di Jakarta, Selasa (08/3). Guantanamo merujuk pada sebuah tempat atau pulau yang digunakan Amerika Serikat untuk mehanan dan mengintegogasi secara kejam orang-orang yang dituduh terlibat terorisme.

Menurut Arsul selama ini ketika menyinggung soal pencegahan terorisme konteksnya selalu deradikalisasi dalam berbagai bentuk. Tapi dalam draft revisi UU Terorisme konsep pencegahan itu diperluas sehingga aparat diberi kewenangan untuk menahan 'orang tertentu' dalam waktu 6 bulan di 'tempat tertentu' dalam rangka proses deradikalisasi.

Arsul tidak ingin upaya pencegahan itu memberi peluang kepada aparat penegak hukum untuk menciptakan suatu 'detention center' atau 'pusat tahanan.' Masalahnya, aparat diberi wewenang untuk menafsirkan ketentuan itu, sehingga harus ada rambu-rambu yang ketat. Perlu ada penjelasan yang rinci tentang 'orang tertentu' dan 'tempat tertentu' dalam konteks penahanan selama 6 bulan.
Menurutnya, penahanan menyangkut hak setiap orang atas kebebasan bergerak, apalagi orang tersebut belum dinyatakan bersalah atau disidik dalam suatu tindak pidana terorisme. “Itu yang harus kita kritik,” ujarnya.

Walau mengaku secara pribadi mendukung revisi UU Terorisme untuk segera dilakukan, tapi Arsul tidak ingin arah revisi hanya menyasar pada perluasan tindak pidana dan kewenangan aparat tanpa diimbangi perlindungan HAM. Perlindungan HAM itu penting bukan saja terhadap saksi dan korban tapi juga korban yang salah tangkap atau terduga pelaku. Misalnya, aparat melakukan penahanan terhadap orang yang salah atau bahkan menembak orang itu sampai meninggal. Oleh karenanya hal yang berkaitan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap para korban harus jelas.

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengkritik adanya masa penahanan selama 6 bulan terhadap orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme. Menurutnya ketentuan yang termaktub dalam Pasal 43A ayat (4) draft revisi UU Terorisme itu merupakan bentuk penahanan sewenang-wenang. Sebab ketentuan itu memberi kewenangan aparat untuk menahan orang yang belum jelas status hukumnya. “Padahal penahanan hanya bisa dilakukan terhadap orang yang status hukumnya jelas seperti tersangka, terdakwa atau terpidana,”
tukasnya.

Senada, peneliti Imparsial, Ardi Manto, menilai Pasal 43 ayat (4) draft revisi UU Terorisme itu berpotensi memunculkan penangkapan sewenang-wenang tanpa disertai alat bukti yang cukup atas nama pencegahan tindak pidana terorisme. Menurutnya ketentuan ini sangat berbahaya karena pembatasan terhadap hak-hak tertentu harus dilakukan secara akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. “Ini sama saja penyekapan, bukan upaya hukum,” urainya.

Selain itu Ardi menilai Pasal 43 ayat (4) draft revisi UU Terorisme bersifat multitafsir dan bergantung pada subyektifitas aparat penegak hukum. Untuk meminimalisasi subyektivitas, harus ada kualifikasi yang jelas tentang 'orang tertentu.'
Tags:

Berita Terkait