Gawat! Produksi Pangan Terancam, Reforma Agraria Dibutuhkan
Berita

Gawat! Produksi Pangan Terancam, Reforma Agraria Dibutuhkan

Adanya akses terhadap aset dan tanah membuka peluang regenerasi petani. Tanpa regenerasi petani produksi pangan berpotensi turun 1 persen setiap tahun.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Petani pangan organik butuh dukungan pemerintah. Foto: ilustrasi (Sgp)
Petani pangan organik butuh dukungan pemerintah. Foto: ilustrasi (Sgp)

Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan produksi pangan di Indonesia terancam karenaregenerasi petani minim. Ia mencatat dibutuhkan 29 miliar kilogram beras untuk memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia.

Lebih dari 90 persen produksi beras di Indonesia dihasilkan oleh keluarga petani gurem (menggarap tanah kurang dari 1 hektar). Jika pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang tepat untuk mendorong regenarasi petani, 10 tahun ke depan produksi pangan berpotensi turun 1 persen setiap tahun.

Dari total petani yang ada di Indonesia, 61 persen berusia lebih dari 45 tahun dan 12 persen berusia di bawah 35 tahun. Minimnya jumlah petani muda di Indonesia menurut Said disebabkan oleh beberapa hal diantaranya fragmentasi dan konversi lahan sehingga lahan pertanian makin sedikit. Kemudian, degradasi agro ekosistem sehingga lahan rusak dan tidak mendukung dilakukan pertanian. Lalu produksi produk pertanian yang stagnan dan degradasi petani karena arah kebijakan pemerintah selalu peningkatan produksi bukan kesejahteraan petani.

Tercatat, di tahun 2013 sekitar 1.369 keluarga per hari keluar dari bidang pertanian. Ini mengancam produksi pangan di Indonesia. Said mencatat kebijakan yang diterbitkan pemerintah sifatnya parsial seperti bantuan teknis berupa traktor dan bibit. Padahal, pertanian disetiap daerah di Indonesia punya keunikan yang tidak bisa diakomodir hanya dengan satu jenis kebijakan saja.

Riset KRKP menunjukan luas kepemilikan lahan pertanian dan keuntungan yang diperoleh dari hasil pertanian jadi salah satu faktor yang mampu mendorong regenerasi petani khususnya padi. Said mencatat salah satu agenda Nawacita yakni kedaulatan pangan dan melaksanakan reforma agraria. Menurutnya kedua hal itu saling berkaitan. Untuk reforma
agraria, pemerintah dituntut segera menerbitkan regulasi teknis yang mengatur bagaimana redistribusi lahan kepada petani.

“Salah satu rekomendasi dari hasil riset yang kami lakukan untuk mendorong regenerasi petani yakni pemerintah harus menjalankan reforma agraria secara konsisten,” kata Said dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (17/5).

Said mencatat reforma agraria diperlukan agar petani punya akses terhadap aset dan lahan. Ia melihat saat ini pemerintah lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih menyusun peraturan teknis untuk menjalankan reforma agraria sebagaimana amanat Nawacita. Kemudian, Kementerian Pertanian perlu segera menerbitkan aturan teknis untuk
merealisasikan pembukaan 1 juta hektar sawah sebagaimana janji Presiden Joko Widodo.

Walau mendukung upaya pemerintah menyusun teknis pelaksanaan reforma agraria,namun Said mengingatkan agar hal itu tidak diartikan dengan bagi-bagi sertifikat tanah. Menurutnya reforma agraria lebih luas cakupannya. “Arahnya itu bagaimana agar petani punya akses aset dantanah yang cukup untuk efisiensi usaha pertanian yang dilakukannya,” ujarnya.

Selain itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang memberi terobosan dalam rangka melindungi harga jual komoditas pertanian yang diproduksi petani. Said menjelaskan, selama ini harga komoditas pertanian mengikuti pasar yang dipengaruhi tengkulak. Ironisnya, sebagai lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melindungi petani, Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak mampu membeli hasil produksi petani dengan harga yang layak.

Guna mengatasi masalah itu,Said mengusulkan agar pemerintah mengubah skema subsidi dari input seperti subsidi pupuk menjadi output yakni subsidi harga. Dengan begitu diharapkan Bulog dapat membeli produk pertanian yang dihasilkan petani dengan harga yang relatif tinggi.

Peneliti Utama Pusat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian IPB, SuryoWiyono mengatakan, regenerasi petani dibutuhkan karena dengan usia petani di Indonesia yang saat ini mayoritas berusia lebih dari 45 tahun dianggap kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Padahal, penggunaan teknologi di bidang pertanian bisa meningkatkan kompetensi petani yang berdampak pada produktifitas, kualitas, daya saing dan kesejahteraan.

“Harapannya itu petani Indonesia di masa depan itu mayoritas berusia muda, melek pengetahuan dan teknologi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait