Geledah Lapas dan Rutan 8.410 Kali, Ini yang Ditemukan Kemenkumham
Berita

Geledah Lapas dan Rutan 8.410 Kali, Ini yang Ditemukan Kemenkumham

Di samping penggeledahan, harus ada evaluasi aturan terhadap pemakai narkoba untuk tidak lagi ditahan di Rutan/Lapas melainkan langsung diserahkan ke Badan Narkotika Nasional untuk rehabilitasi.

Oleh:
Hamalatul Qurani
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly dan jajaran saat menyampaikan kinerja tahun 2018, Kamis (27/12). Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly dan jajaran saat menyampaikan kinerja tahun 2018, Kamis (27/12). Foto: RES

Melonjaknya angka penghuni Rutan/Lapas hingga 24.197 orang dari total sebanyak 256.273 orang, jelas turut membuka kemungkinan meningkatnya berbagai bentuk pelanggaran di lingkungan Rutan/Lapas tersebut. Mengantisipasi pelanggaran itu, 8.410 kali sudah Kementerian Hukum dan HAM melakukan penggeledahan di Lapas/Rutan sepanjang 2018. Hasilnya, ditemukan sebanyak 4.077 gram ganja, 458 gram sabu, handphone sebanyak 21.241 unit dan uang sebesar Rp648 juta.

  

“Penggeledahan ini akan terus kita lakukan sampai Lapas/Rutan bersih dari Halinar (HP, pungli dan Narkoba), karena ini terbukti dari turunnya persentase residivis di tahun 2018 sebesar 11,44% dibanding tahun sebelumnya sebesar 11,86%,” tegas Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly dalam sambutannya pada kegiatan Refleksi Akhir Tahun Kementerian Hukum dan HAM 2018, Kamis, (12/27).

 

Ke depan, lanjut Yasonna, di samping penggeledahan, harus ada evaluasi aturan terhadap pemakai narkoba untuk tidak lagi ditahan di Rutan/Lapas melainkan langsung diserahkan ke Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk rehabilitasi. Pasalnya, mayoritas penduduk lapas dalam kasus pidana khusus diisi oleh bandar dan pengedar sebanyak 74.037 narapidana dan pengguna narkoba sebanyak 41.252 narapidana. Total baik Bandar/pengedar dan pengguna narkoba  115.289 narapidana dari 122.339 jumlah total narapidana khusus, sehingga sekitar hampir 90% narapidana narkoba mengisi lapas hingga kini.

 

“Padahal dari 255.727 total tahanan dan narapidana, kapasitas lapas yang tersedia hanya menampung sebanyak 125.712 orang, bahkan rata-rata kenaikan penghuni per tahun mencapai 22.000 orang,” jabar Yasonna menerangkan presentasinya.

 

Begitu banyaknya angka narapidana narkoba menghuni lapas, Yasonna menyebut upaya rehabilitasi ‘pengguna/pemakai’ perlu dilakukan agar overkapasitas lapas dapat teratasi. Terlebih, tak ada jaminan bahwa pemakai suatu saat dapat menjadi pengedar saat berada di lapas, sehingga Yasonna memandang penting dilakukan upaya untuk memutus mata rantai persebaran narkotika khususnya di lingkungan Rutan/Lapas melalui rehabilitasi pemakai oleh BNN, bukan lagi ditahan.

 

Baca:

 

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof. Benny Riyanto pada prinsipnya mendukung agar hukuman terhadap pengguna narkotika berupa sanksi rehabilitasi. Dengan catatan, definisi “pengguna” dalam RUU Narkotika ini mesti diperjelas batasannya. Sebab, tak jarang seseorang yang kedapatan menyalahgunakan narkotika dengan barang bukti dalam jumlah banyak malah dikategorikan sebagai pengguna.

 

“Pengetatan dan batasan definisi ‘pengguna’ mesti diperjelas terlebih dahulu, sebelum mengatur soal rehabilitasi dalam RUU Narkotika. Saya pribadi sependapat kalau pengguna harus direhabilitasi asalkan batasan pengertian pengguna harus jelas,” ujarnya.

 

Menurutnya, parameter penilaian yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap seseorang dikatakan sebagai pengguna, pengedar, atau bandar mesti diperjelas lagi batasannya. Misalnya, kategori pengguna hanya menggunakan narkoba itu secara sendirian. Selain itu, terhadap pengguna tidak boleh melakukan pengulangan (residivis) menggunakan narkoba.

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengungkapkan bahwa metode dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika ini sudah banyak diterapkan sejumlah negara yang mengadopsi harm reduction, strategi mengurangi dampak buruk dari kegiatan atau perilaku yang berisiko. “Nah, strategi ini penting dilakukan lantaran penjara sudah tak mampu memberi fasilitas kesehatan yang layak bagi para pengguna narkotika yang diganjar hukuman pidana penjara,” dalihnya.

 

Biaya Makan Napi

Selain itu, Yasonna juga menyebut overkapasitas lapas turut bersumbangsih menjadi salah satu alasan meningkatkan biaya makan napi. Tercatat untuk tahun 2019 biaya makan napi mencapai Rp1,79 triliun, naik dari sebelumnya Rp1,39 triliun di tahun 2018 dan Rp1,08 triliun di tahun 2017.

 

Bahkan tercatat, bahwa remisi yang diberikan kepada sekitar 196.303 orang sepanjang tahun 2018, selain menjadi motivasi agar warga binaan untuk berperilaku baik, nyatanya juga berimbas positif pada penghematan anggaran negara. "Tahun ini Remisi Khusus Natal menyumbang penghematan anggaran negara sebesar Rp4.759.051.500," tambah Dirjen PAS Kemenkumham, Sri Puguh Budi Utami.

 

Sri mengatakan, bahwa remisi diharapkan juga mampu mengurangi overcrowding, meningkatkan kepatuhan warga binaan dan menghemat anggaran negara. Sri Puguh mengatakan, pemberian remisi diberikan secara terbuka, transparan dan non diskriminatif, sehingga tidak ada pengecualian.

Tags:

Berita Terkait