Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan
Berita

Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan

Kata “hanya” dalam Pasal 138 ayat (3) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan seharusnya diubah menjadi “dapat”.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Demo sopir taksi menolak transportasi berbasis aplikasi di kawasan Monas Jakarta. Foto: RES
Demo sopir taksi menolak transportasi berbasis aplikasi di kawasan Monas Jakarta. Foto: RES
Polemik transportasi berbasis aplikasi online akhirnya mampir ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah sebelumnya ada demonstrasi sopir taksi menolak keberadaan moda transportasi daring, kini terjadi sebaliknya. Dua orang warga negara yang berprofesi advokat menggugat Pasal 138 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) lewat judicial review ke MK. Kedua advokat ingin MK bisa mengakhiri polemik legalitas transportasi berbasis aplikasi yang selama ini terjadi.

Mereka adalah M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana yang merasa dirugikan atas berlakunya pasal itu. Selaku konsumen pengguna jasa angkutan umum, Thalib dan Wicaksana merasa tidak mendapatkan kepastian hukum terkait legalitas angkutan umum yang digunakan sehari-hari terutama transportasi berbasis aplikasi online.

“Rumusan Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ telah menyebabkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait angkutan umum orang dan/atau barang’,” ujar Ridwan Thalib usai mendaftarkan permohonan uji materi UU LLAJ di MK, Selasa (29/3).

Selengkapnya, Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ menyebutkan “Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”

Dia menilaiPasal 138 ayat (3) UULLAJ telah memberi pengertian sempit terhadap pengangkutan umum orang dan/atau barang. Sebab, angkutan umum orang dan/atau barang tersebut dibatasi dengan “Kendaraan Bermotor Umum”. Padahal, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ menyebut Kendaraan Bermotor Umum hanya mencakup mobil penumpang, mobil bus,dan mobil barang. Sedangkan sepeda motor dan kendaraan khusus tidak termasuk sebagai Kendaraan Bermotor Umum.

Pasal 1 angka 10 UU LLAJ menyebut Kendaraan Bermotor Umum didefinisikan sebagai setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Ini menunjukkan adanya inkonsistensi norma ketika kendaraan bermotor tidak masuk dalam jasa angkutan umum, tetapi masyarakat justru menggunakan jasa tersebut, seperti ojek online, delman, becak dan ojek pangkalan.

“Faktanya, sepeda motor justru sering digunakan sebagai angkutan umum orang dengan dipungut bayaran. Kita tidak bedakan transportasi online atau tidak online. Itu semua sebenarnya masuk definisi kendaraan bermotor umumkan,” lanjutnya.

Menurutnya, munculnya teknologi berbasis aplikasi online tersebut secara nyata memberi pilihan salah satu jenis angkutan umum dengan biaya lebih terjangkau, di samping faktor kenyamanan, keamanan dan kemudahan. Namun, eksistensi angkutan-angkutan berbasis aplikasi online saat ini justru membawa polemik terkait keabsahan/legalitasnya yang diikuti sejumlah tindakan Pemerintahyang berpotensi mengancam keberlangsungan usahanya.

Padahal, aplikasi transportasi online bisa dikategorikan sebagai bentuk pemanfataan teknologi yang dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. “Kalau Gojek, Uber, Grab dilarang, saya tidak ada masalah mereka dilarang tapi jangan sampai merugikan hak-hak konstitusional saya untuk memanfaatkan teknologinya. Kalau melarang operasional di jalan larang saja, itu haknya Kementerian Perhubungan. Tetapi, jangan larang penggunaan teknologi aplikasinya,” tegasnya.

Dalam permohonannya, mereka mempersoalkan istilah “angkutan umum orang dan/atau barang” dan makna dari “kendaraan bermotor umum” dari Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ ini. Dia menilai tidak ada ukuran yang pasti mengenai dua istilah tersebut karena konsep transportasi online atau ojek pangkalan sama halnya seperti rental mobil biasa.

“Istilah ‘angkutan umum orang dan/atau barang’ dan makna ‘kendaraan bermotor umum’ tidak jelas. UU LLAJ sendiri tidak memberi definisi angkutan umum orang dan atau barang secara jelas,” kata dia.

Karena itu, Pemohon meminta MK memaknai kata ‘hanya’ menjadi kata “dapat” dalam Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ. Dengan begitu, angkutan umum orang dan atau barang tidak harus kendaraan bermotor umum, sehingga memungkinkan kendaraan perseorangan, kendaraan tidak bermotor (delman, becak) boleh menjadi angkutan umum termasuk menggunakan aplikasi online.

Menyatakan Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Angkutan umum orang dan/atau barang dapat dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum’,” sebutnya dalam petitum permohonannya.

Tags:

Berita Terkait