Giliran Purnawirawan Persoalkan Aturan Peralihan PT Asabri ke BPJS
Berita

Giliran Purnawirawan Persoalkan Aturan Peralihan PT Asabri ke BPJS

Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Setelah mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof M. Saleh bersama 14 pensiunan pejabat PNS dan PNS aktif mempersoalkan pengalihan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen) ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029, kini giliran sejumlah purnawirawan TNI mempersoalkan aturan sejenis.

 

Mereka adalah Mayjen TNI (Purn) Endang Hairudin; Laksamana TNI (Purn) M. Dwi Purnomo; Marsma TNI (Purn) Adis Banjere; dan Kolonel TNI (Purn) Ir. Adieli Hulu yang melayangkan uji materi Pasal 65 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029.

 

Para purnawirawan TNI sebagai peserta program Asuransi Sosial Angkata Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) ini menganggap hak konstitusionalnya akan dirugikan karena ada potensi penurunan manfaat program jika dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, mereka selama ini telah menikmati manfaat prima yang diberikan oleh PT Asabri.

 

“Para Pemohon dirugikan akibat ada aturan itu yang menuntut agar PT Asabri tidak menyelenggarakan program asuransi sosial dan pembayaran pensiun selambat-lambatnya tahun 2029. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hak untuk mendapat jaminan sosial,” ujar kuasa hukum para pemohon, Bayu Prasetio dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Senin (27/1/2020). Baca Juga: Mantan Wakil Ketua MA Dkk ‘Gugat’ Peralihan PT Taspen ke BPJS

 

Pasal 65 ayat (1) UU BPJS menyebutkan “PT Asabri (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.”

 

Bayu menjelaskan Asabri bentuk wujud keadilan pemerintah atas perlindungan jaminan sosial yang memadai bagi TNI dan Polri sehubungan dengan risiko kematian (gugur atau tewas) dalam melaksanakan tugas. Ketentuan penyelenggaraan program asuransi sosial angkatan bersenjata ini dilakukan terpisah dari asuransi PNS yang diatur PP No. 44 Tahun 1971 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata.

 

Dia menyebut penelitian tentang reformasi sistem pendanaan pensiun pegawai negeri oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada 2011 sebagai tindak lanjut hasil penelitian Tim Pensiun Bank Dunia tahun 1996. Misalnya, beberapa negara menyelenggarakan asuransi sosial militer yang terpisah dari asuransi sosial pegawai negeri.

 

“Ini karena risiko tinggi yang dihadapi peserta asuransi sosial angkatan bersenjata dan kepolisian. Jadi, mereka membutuhkan program asuransi sosial yang spesifik dan data yang rahasia,” kata Bayu.

 

Menurutnya, data pribadi peserta baik prajurit TNI maupun Polri harus dijaga kerahasiaannya karena menyangkut profesi jabatan yang diemban. Sifat ketenagakerjaan prajurit TNI dan anggota Polri berbeda dengan sifat ketenagakerjaan yang diatur UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Seperti, jam kerja, lembur, upah, cuti, kebebasan berserikat.

 

“UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang memberi jaminan kebutuhan dasar hidup layak setiap peserta dan/atau anggota keluarganya berdasarkan asas-asas umum, seperti asas manfaat yang selama ini telah diperoleh dan dirasakan para anggota TNI dan Polri baik aktif ataupun pensiunan PT Asabri."

 

“Karena itu, ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pintanya.

 

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Saldi Isra menyarankan agar lebih konkrit argumentasi norma yang bertentangan dengan konstitusi, mesti dibuat kerugian konstitusional secara riil. Misalnya, apa saja potensi kerugiannya dengan skema yang berlaku selama ini. “Kalau nanti Asabri menjadi bagian BPJS Ketenagakerjan atau full menjadi BPJS? Ini mungkin bisa dibikin tabel angka-angkanya, paling tidak asumsi awal yang digunakan Pemohon,” saran Saldi.

 

Anggota Majelis Panel, Suhartoyo mempertanyakan secara substansi mana yang memindahkan wewenang itu? “Ini kan pasal yang delegasi kewenangan dialihkan paling lambat tahun 2029, tapi esensi yang memindahkan itu pasal berapa? Bapak harus telisik itu, sehingga rohnya berangkat dari situ,” saran Suhartoyo.

 

“Pendelegasian itu sifatnya apa, sebagai bentuk konsekuensi yuridis dan logis? Tapi, roh atau jiwa pemindahan itu dimana. Syukur-syukur Bapak bisa mengelaborasi dimana (letak nilai, red) filosofis, sosiologisnya, dilengkapi data kerugian finansialnya, meskipun kita tidak mengadili case-case yang sifatnya kerugian finansial kongkrit,” katanya.

 

Sebelumnya, mantan Ketua MA Prof Mohammad Saleh bersama 14 pensiunan pejabat PNS dan PNS aktif mempersoalkan pengalihan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen) ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029 sebagaimana diatur Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029. Kelima belas pemohon itu adalah peserta program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua di PT Taspen.   

 

Aturan itu dinilai menimbulkan potensi kerugian hak konstitusional para pemohon dan ketidakpastian untuk mendapatkan jaminan sosial yang dijamin Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945. Sebab, para pemohon selama ini telah menikmati pelayanan prima dan keuntungan yang diberikan PT Taspen.

 

Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, PT Taspen tidak lagi menyelenggarakan program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua selambat-lambatnya pada 2029. Hal ini dapat menyebabkan penurunan manfaat dan pelayanan jaminan sosial akibat peralihan PT Taspen kepada PT BPJS Ketenagakerjaan. Mereka meminta agar program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua pensiunan pejabat negara, PNS atau PNS aktif tetap dikelola PT Taspen.

Tags:

Berita Terkait