Dua Musisi Senior Ajukan Diri Sebagai Pihak Terkait dalam Gugatan Musica Studios ke MK
Terbaru

Dua Musisi Senior Ajukan Diri Sebagai Pihak Terkait dalam Gugatan Musica Studios ke MK

Untuk pengajuan sebagai pihak terkait di MK, Indra Lesmana dan Ikang Fawzi memberikan kuasa kepada Tim Pembela Hak Pencipta & Pelaku Pertunjukan yang diketuai oleh Panji Prasetyo yang beranggotakan 10 advokat, termasuk 2 advokat yang juga dikenal sebagai penyanyi yaitu Marcell Siahaan dan Kadri Mohamad.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Dua musisi kondang senior, Indra Lesmana dan Ikang Fawzi, rupanya gregetan dengan permohonan gugatan perusahaan rekaman Musica Studios ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencoba untuk membatalkan pasal 18, 30, dan 122 UU Hak Cipta. Ketiga pasal tersebut adalah ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban bagi produser rekaman untuk hak ekonomi kepada pencipta lagu dan penyanyi setelah 25 tahun, jika perjanjian dengan pencipta dahulu kala dilakukan dengan cara jual putus (flat play) sekali bayar tanpa royalti.

“Sebagai musisi dan pencipta lagu yang dulu tahun 80-90an terpaksa harus menerima sistem jual putus dalam rekaman karena tidak ada pilihan, dan tidak mendapatkan imbalan tambahan apapun jika lagu atau album saya laku, saya sangat terkejut dan keberatan dengan gugatan Musica. Ini sama saja dengan mematikan lagi harapan musisi dan pencipta lagu untuk mendapat kesejahteraan yang lebih baik” ujar Indra Lesmana, JUmat (11/2).

Lebih lanjut, Indra yang sekarang juga menjabat sebagai ketua umum Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) ini mengaku tidak habis pikir dengan gugatan ini. “Apa para produser ini merasa belum cukup dalam 25 tahun mengeksploitasi habis karya pencipta lagu, bahkan satu lagu dalam master rekaman itu dulu bisa direproduksi puluhan kali menjadi album-album kompilasi dan si pencipta tidak mendapat sepeser pun”. (Baca Juga: Memahami Klausula Baku dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Senada dengan Indra, sang rocker Ikang Fawzi pun menilai gugatan Musica ini seperti memadamkan lilin yang baru menyala. “Kita dulu para musisi dan pencipta lagu seperti hidup di jaman kegelapan. Industri musiknya ugal-ugalan, hubungan produser dengan musisi itu kayak majikan dan pembantu. Gak ada itu yang namanya transparansi. Pokoknya bayar sekali, selesai, boro-boro kita bisa tahu kaset laku berapa, padahal dimana-mana keliling Indonesia lagu kita diputar” ujarnya.

“Nah sekarang Undang-Undang Hak Cipta sudah bagus mau mengoreksi praktik-praktik tidak adil seperti dulu itu dan melindungi musisi dan pencipta lagu, kok malah ada pihak yang pingin kita balik ke jaman kegelapan dulu lagi?” ujar penyanyi yang dulu dikenal luas publik musik tanah air setelah lagu “Preman” yang diciptakan dan dibawakannya meledak di pasaran.

Untuk pengajuan sebagai pihak terkait di Mahkamah Konstitusi, Indra dan Ikang memberikan kuasa kepada Tim Pembela Hak Pencipta & Pelaku Pertunjukan yang diketuai oleh Panji Prasetyo, yang beranggotakan 10 advokat, termasuk 2 advokat yang juga dikenal sebagai penyanyi yaitu Marcell Siahaan dan Kadri Mohamad. Selain mewakili Indra dan Ikang, tim pembela ini juga mewakili beberapa organisasi musisi dan pencipta lagu yang mengajukan diri pula sebagai pihak terkait, antara lain FESMI (Federasi Serikat Musisi Indonesia) pimpinan musisi jazz Candra Darusman, PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia) pimpinan raja dangdut Rhoma Irama, dan ARDI (Anugrah Royalti Dangdut Indonesia) pimpinan penyanyi dangdut kondang Ikke Nurjanah.

Proses sidang pengujian UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Musica Studios akan dilanjutkan pada tanggal 15 Februari 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR.

Sebelumnya, perkara dengan Nomor 63/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Direktur PT Musica Studios Gumilang Ramadhan (produser) yang diwakili oleh Otto Hasibuan selaku kuasa hukum Pemohon ke MK pada akhir tahun 2021 lalu. PT Musica Studios mempersoalkan berlakunya Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122, Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta terkait kepemilikan hak cipta berupa ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik, karya pertunjukan, dalam jangka waktu tertentu bisa beralih kepada pencipta/pelaku pertunjukan. Pemohon sebagai Produser/Produser Rekaman dalam melaksanakan bisnis usahanya membuat/memproduksi Fonogram, selalu didahului dengan membuat perjanjian terlebih dahulu dengan Pencipta. 

Perjanjian tersebut berisi pengalihan Hak Cipta atas suatu Ciptaan “lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks” dari Pencipta kepada Pemohon yang umumnya dilakukan dengan sistem flat pay sempurna atau jual putus yaitu Pemohon membayar di muka berupa sejumlah uang kepada Pencipta sesuai dengan nilai yang disepakati bersama. Llau, Pencipta mengalihkan Hak Cipta atas suatu Ciptaan “lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks” kepada Pemohon untuk selama-lamanya.

Pasal 18 UU Hak Cipta menyebutkan “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.”

Pasal 30 UU Hak Cipta Kerja menyebutkan “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun”. Sedangkan Pasal 63 ayat (1) huruf b disebutkan “Pelindungan hak ekonomi bagi: Produser Fonogram, berlaku selama 50 tahun sejak Fonogramnya diliksasi.

Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Hak cipta yang dimaksudkan Pemohon adalah hak ekonomi. Pemohon mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus.

“Sebab pasal tersebut memberi ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya,” ujar Otto Hasibuan dalam sidang pendahuluan yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang digelar secara virtual, Senin (13/12) seperti dikutip laman MK.

Tags:

Berita Terkait