Gugum, Asep dan Nasib Perkawinan Penghayat Kepercayaan
Utama

Gugum, Asep dan Nasib Perkawinan Penghayat Kepercayaan

Segudang masalah hukum akan muncul di kemudian hari bila perkawinan adat atau penghayat kepercayaan tidak didaftarkan, kecuali memang penghayat tidak terlalu berurusan dengan negara.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit

 

Hingga 13 tahun berselang setelah perkawinannya, Gugum masih mengajukan tanda tanya besar. Mengapa sih negara memaksakan seluruh warga negara Indonesia harus memeluk salah satu agama resmi. Bukankah sebelum agama ‘resmi' itu masuk ke Indonesia, masyarakat sudah memiliki kepercayaan sendiri terhadap Tuhan? Mengapa kehidupan pribadi berupa keyakinan warga terus diawasi? Kepercayaan itu adalah privat, kata Gugum di hadapan Prof. Wila.

 

Wila Chandrawila, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, menegaskan bahwa dari kacamata hukum negara, keluarga Gugum – Susilowati tak ubahnya seperti kumpul kebo. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Ini juga akan berakibat pada pembagian harta gono gini dan waris. Intinya, segudang masalah hukum akan muncul di kemudian hari bila perkawinan adat atau penghayat kepercayaan tidak didaftarkan, kecuali memang penghayat tidak terlalu berurusan dengan negara.

 

Kisah Gugum pernah menghiasi sejarah peradilan dan dunia hukum di Tanah Air, khususnya menyangkut keabsahan lembaga perkawinan bagi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan. Pada 1996 silam, Gugum menggugat Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Timur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Penyebabnya, KCS menolak mencatatkan perkawinan Gugum dan Susilawati yang dilaksanakan menurut adat Sunda. KCS berdalih, perkawinan baru dicatatkan jika dilangsungkan menurut agama yang diakui Pemerintah. Namun, upaya Gugum akhirnya kandas.

 

Lain Gugum-Susilawati, lain pula nasib pasangan Asep Setia Pujanegara–Rela Susanti. Pengadilan memenangkan gugatan Asep – Rela melawan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung. KCS Bandung menolak mencatatkan perkawinan Asep dan Rela karena dilaksanakan menurut adat Sunda. Alasannya sama seperti di atas, perkawinan baru bisa dicatatkan KCS apabila dilaksanakan menurut salah satu agama yang diakui Pemerintah. Wila Chandrawila, yang kala itu menjadi pengacara Asep – Rela menilai argumentasi KCS Bandung terlalu mengada-ada, dan telah membuat penafsiran a contrario terhadap pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

 

Pada 22 April 2002 silam, PTUN Bandung mengabulkan gugatan Asep dan Rela, dan menghukum KCS untuk mencatatkan perkawinan keduanya. Setahun kemudian, Pengadilan Tinggi TUN Jakarta menguatkan putusan dimaksud. Bahkan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah Mahkamah Agung menolak kasasi KCS. Pada 28 Maret 2006 lalu, majelis hakim agung Chairani A. Wani, Widayatno Sastrohardjono dan Titi Nurmala Siagian menolak permohonan kasasi KCS Bandung.

 

Salah satu pertimbangan judex factie mengabulkan gugatan Asep – Rela adalah kenyataan bahwa KCS Bandung sudah pernah mencatatkan perkawinan sejenis sebelumnya. Pengacara Asep – Rela berhasil membuktikan adanya perkawinan penghayat kepercayaan yang telah dicatat KCS, antara lain pasangan Engkus Ruswana – Tuti Ekawati, dan pasangan Iko Iskandar – Eris Rokayah. Di persidangan, KCS Bandung mencoba berargumen bahwa perkawinan-perkawinan terdahulu dicatatkan karena belum ada aturan baru, yakni Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 474.2/3069/tanggal 19 Oktober 1995 tentang Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setelah peraturan baru ini keluar, KCS tidak bisa lagi mencatatkan perkawinan penghayat kepercayaan.

 

Pemuka penghayat

Namun seorang pejabat di lingkungan Direktorat Penghayat Kepercayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengatakan bahwa perbedaan sikap pengadilan tak lepas dari pelaksanaan perkawinan adat itu sendiri. Suatu perkawinan akan dicatat KCS bila dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk. Biasanya ada pemuka penghayat yang telah ditunjuk dan diberi wewenang melaksanakan perkawinan adat/penghayat kepercayaan. Kalau tak ada surat dari pemuka penghayat tadi, Direktorat Penghayat Kepercayaan tidak akan memberikan rekomendasi.

Tags: