Gugum, Asep dan Nasib Perkawinan Penghayat Kepercayaan
Utama

Gugum, Asep dan Nasib Perkawinan Penghayat Kepercayaan

Segudang masalah hukum akan muncul di kemudian hari bila perkawinan adat atau penghayat kepercayaan tidak didaftarkan, kecuali memang penghayat tidak terlalu berurusan dengan negara.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit

 

Direktur Penghayat Kepercayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sulistyo Tirtokusumo, mengatakan pihaknya tidak akan mempersulit perkawinan para penghayat kepercayaan. Yang penting, perkawinan itu dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan, ujarnya.

 

Penegasan Sulistyo itu pula sebenarnya yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007. Beleid ini merupakan aturan teknis dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Penjelasan umum PP 37 menyatakan bahwa Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan sebagai suatu wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi yang membidangi pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dinyatakan pula perkawinan tersebut wajib dilaporkan kepada instansi atau unit pelaksana teknis dengan menyerahkan antara lain surat perkawinan penghayat kepercayaan. Pasangan penghayat wajib melapor ke instansi teknis pencatat paling lambat 60 hari setelah perkawinan.

 

Organisasi penghayat

PP 37 memberi peran penting bagi organisasi penghayat kepercayaan. Masalahnya, saat ini para penghayat kepercayaan tersebar dalam berbagai organisasi. Dalam catatan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hingga kini tak kurang dari 245 organisasi di tingkat pusat dan 945 cabang, dengan jumlah penghayat sekitar 10 juta orang.

 

Untuk memudahkan urusan pencatatan perkawinan sesuai UU Administrasi Kependudukan dan PP 37, Wila Chandrawila menyarankan agar organisasi penghayat bersatu. Kita harus bersatu, ujarnya.

 

Kekuatan organisasi juga dibutuhkan untuk memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap para penghayat kepercayaan. Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), KRA Esno Kusnodho Suryaningrat, menegaskan hingga saat ini diskriminasi dalam banyak aspek masih dirasakan para penghayat.

 

Toh, sebagaimana terungkap dalam seminar 18 Maret lalu, tidak semua penghayat sepaham dengan gagasan menyatukan organisasi. Alasannya, jika dibuat wadah tunggal, para penghayat akan gampang diawasi dan dikontrol. Sekali organisasi itu dinyatakan terlarang –misalnya karena perubahan kebijakan politik – seluruh penghayat kepercayaan akan dirugikan.

 

Esno Kusnodho, yang biasa dipanggil Romo Guru, menampik kekhawatiran tersebut. Menurut dia, organisasi dimaksud lebih sebagai wadah perjuangan menghapus diskriminasi ketimbang sebagai upaya menyatukan seluruh penghayat ke dalam wadah tunggal. Tidak disatukan, hanya wadah perjuangan, pungkasnya.

Tags: