Guru Besar FH UI Ini Beri 3 Catatan Terkait Hukum Lingkungan Hidup
Terbaru

Guru Besar FH UI Ini Beri 3 Catatan Terkait Hukum Lingkungan Hidup

Mulai dari pentingnya kalangan akademik mencermati putusan pengadilan dalam setiap kajian ilmiah; pembuktian secara ilmiah (scientific evidence); ganti rugi dan pemulihan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
 Suasana diskusi peluncuran dan bedah buku berjudul 'Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata', Jumat (1/4/2022). Foto: RES
Suasana diskusi peluncuran dan bedah buku berjudul 'Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata', Jumat (1/4/2022). Foto: RES

Penegakan hukum lingkungan hidup sangat diperlukan untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana mandat Pasal 28H UUD NKRI Tahun 1945. Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan hidup termasuk praktiknya di pengadilan. Beberapa persoalan itu telah dipaparkan dalam buku berjudul Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata yang ditulis Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA), Prim Haryadi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Andri G Wibisana, sedikitnya memiliki 3 catatan penting terkait hukum lingkungan hidup. Pertama, buku yang diangkat dari desertasi itu mengingatkan pentingnya kalangan akademisi untuk mencermati putusan pengadilan dalam melakukan kajian terkait hukum lingkungan hidup. Dia menilai selama ini akademisi lebih banyak fokus pada teori dan peraturan.

“Memahami peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lengkap tanpa memahami putusan pengadilan,” kata Andri dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata, Jumat (1/4/2022) kemarin.

Baca:

Andri memberikan contoh soal pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dimana secara prinsip sama antara yang berlaku di Indonesia dengan Belanda. Tapi bedanya pada praktik di pengadilan. Di Indonesia strict liability itu masih mendasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata atau BW. Ketentuan itu pada intinya mengatur perbuatan melawan hukum. “Ini sebab sulitnya strict liability berkembang di Indonesia karena terjebak masalah itu,” ujarnya.

Oleh karena itu, Andri menekankan kepada kalangan akademisi untuk tidak melupakan putusan pengadilan dalam membuat tulisan. Misalnya, setelah terbit UU No.11 Tahun 2020 tentng Cipta Kerja, konsep strict liability sebagaimana tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) tidak mengalami perubahan, tapi praktiknya berbeda di pengadilan. Seperti dalam perkara pencemaran sungai Citarum, ada perbedaan pemahaman terkait strict liability pada hakim tingkat pertama dan tingkat banding.

Kedua, pembuktian ilmiah (scientific evidence) yang membuat hakim menghadapi persoalan sulit. Misalnya, bagaimana menentukan wilayah terbakar dan lainnya. Hakim kerap dihadapkan persoalan dimana para pihak menunjukkan bukti ilmiah yang saling berbeda seperti wilayah dan luasan lahan terbakar dan ganti rugi serta pemulihannya. “Di Indonesia faktor yang paling menentukan terkait ganti kerugian itu soal berapa luas wilayah yang terbakar,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait