Guru Besar FH USU Tolak Revisi UU Advokat
Berita

Guru Besar FH USU Tolak Revisi UU Advokat

Khawatir kemandirian advokat terganggu.

Oleh:
CR17/RFQ
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH USU Tolak Revisi UU Advokat
Hukumonline
Seorang Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), Syafruddin Kalo, menyatakan penolakannya atas revisi UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Setelah membaca draf revisi, Prof. Kalo khawatir Undang-Undang Advokat mendatang justru berpotensi melemahkan profesi advokat.

Dosen hukum pidana itu khawatir advokat tidak lagi sejajar dengan aparat penegak hukum lain seperti polisi dan jaksa, melainkan sekadar mitra kerja semacam Banpol atau Pamswakarsa. Konstruksi kesetaraan dengan aparat penegak hukum lain yang dikandung UU Advokat saat ini sudah pas. Kalau diubah dan mendudukkan advokat sebagai mitra, yang rugi justru advokat.  “Akan melemahkan advokat,” kata Prof. Kalo kepada hukumonline.

Penolakan atas materi revisi yang ada sekarang sudah disampaikan Kalo saat menjadi pembicara dalam seminar ‘Kajian Akademis tentang RUU Advokat: Haruskah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Diamandemen” di kampus FH USU Medan, Sabtu (16/8) lalu. Dalam acara itu, Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia, Otto Hasibuan, juga tampil sebagai pembicara.

Prof. Syafruddin Kalo menekankan draf RUU Advokat yang memberi peluang seluas-luasnya membentuk organisasi advokat (multibar) justru akan mengurangi kemandirian advokat. “Advokat itu mandiri dan wadah tunggal,” tegasnya.

Anggota Pansus RUU Advokat Harry S Witjaksono, yang hadir dalam acara itu, membenarkan adanya akademisi yang menolak revisi, terutama berkaitan dengan sistem multibar. “Sebagian dosen memang tidak setuju revisi UU Advokat,” jelas Harry kepada hukumonline.

Revisi UU Advokat masih ditangani Pansus. Pansus sudah berkunjung ke sejumlah daerah, berdialog dengan aparat penegak hukum dan akademisi. Dalam dialog itu, Pansus DPR meminta pandangan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat demi penyempurnaan UU Advokat 2003. Multibar adalah salah satu materi yang krusial dan mendapat atensi dari banyak pihak. Mahkamah Agung, misalnya, memandang multibar sebagai salah satu solusi mengatasi masalah organisasi advokat saat ini.

Namun tak sedikit pula yang menolak karena perubahan single bar menjadi multibar justru akan memudahkan advokat loncat dari satu organisasi ke organisasi lain. Potensi ini terjadi jika seorang advokat dibawa ke sidang kode etik, atau kecewa terhadap kebijakan organisasi advokatnya.

Dalam seminar itu, Prof. Kalo mengatakan wadah tunggal justru lebih memudahkan proses audit dan pengawasan terhadap praktek kepengacaraan di Indonesia. Ini lebih menguntungkan bagi pencari keadilan. Karena itu pula Prof. Kalo menyatakan penolakannya atas revisi UU Advokat yang mendegradasi profesi advokat sebagai penegak hukum.
Tags:

Berita Terkait