Guru Besar Ini Jelaskan Konsep Keadilan Restoratif dalam RKUHP
Utama

Guru Besar Ini Jelaskan Konsep Keadilan Restoratif dalam RKUHP

Ada beberapa tantangan penerapan keadilan restoratif diantaranya penerapannya belum optimal; belum ada persamaan persepsi antar aparat penegak hukum terkait penanganan anak berhadapan dengan hukum untuk kepentingan terbaik anak; koordinasi antar aparat penegak hukum masih terkendala.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 6 Menit

Dia menerangkan secara struktural keadilan restoratif memadukan antara mekanisme peradilan pidana dengan partisipasi masyarakat, dalam suatu mediasi musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, penegak hukum, serta pihak terkait,” kata Nur Rochaeti dalam kesempatan yang sama.

Secara kultural, pemahaman bersifat menyeluruh dan utuh harus dibentuk dalam pendidikan hukum bagi masyarakat, dengan melibatkan partisipasi masyarakat guna memahami berbagai produk hukum tentang keadilan restoratif sebagai pencerminan kepribadian bangsa bercirikan Indonesia,” katanya.

Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Asep N Mulyana mengatakan saat ini pelaksanaan keadilan restoratif merujuk pada Surat JAM Pidum Nomor B-4301/E/EJP/9/2020 perihal Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Penuntut Umum harus dapat memastikan pelaksanaan Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif harus dilandasi kesepakatan perdamaian secara adil, proposional, bebas, dan sukarela,” kata Asep.  

Dia menerangkan Penuntut Umum sudah harus menentukan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif sejak tahap prapenuntutan dengan merujuk pada Berita Acara Pendapat [Hasil Penelitian Berkas Perkara (P-24)]. Penuntut Umum mengkoordinasikan dan mengoptimalkan kehadiran penyidik dalam pelaksanaan upaya dan proses perdamaian ini.

Menurutnya, ada pengecualian kategori perkara pidana dalam penerapan keadilan restoratif. Pertama, tindak pidana terkait harta benda yang nilai barang bukti (BB) atau kerugiannya melebihi Rp 2.500.000,00 asal pidananya denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahunKedua, tindak pidana terkait orang, tubuh, nyawa atau kemerdekaan nilai BB atau nilai kerugian boleh melebihi Rp 2.500.000,00. Ketiga, tindak pidana dengan kelalaian ancaman pidana dapat bukan denda atau penjara dapat lebih dari 5 tahun dan kerugiannya dapat lebih dari Rp 2.500.000,00.

Hingga Oktober 2020, dari 26 Kejaksaan Tinggi, totalnya ada 94 perkara dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. Tindak pidana yang mendominasi adalah penganiayaan sebanyak 33 perkara. Diikuti pidana lalu lintas (16 perkara), pencurian (8 perkara), penganiayaan kepada anak (8 perkara), penadahan (7 perkara), KDRT (6 perkara), penggelapan (3 perkara), penipuan (3 perkara), pencemaran nama baik (3 perkara), kelalaian mengakibatkan kematian (2 perkara), pencurian dalam keluarga (1 perkara), perusakan barang (1 perkara).

Selama ini pelaksanaan keadilan restoratif di Kejaksaan difasilitasi oleh Penuntut Umum sebagai pihak yang netral. Berupaya menjaga suasana dalam keadaan setara dan saling menghormati. Nantinya, kesepakatan diputuskan oleh pelaku dan korban tindak pidana. ”Hasil kesepakatan restorative justice bersifat rahasia.” 

Tags:

Berita Terkait