Guru Besar Ini Sebut Substansi Revisi UU MK Cacat Prosedural
Berita

Guru Besar Ini Sebut Substansi Revisi UU MK Cacat Prosedural

Materi muatan Revisi RUU MK dinilai tidak mengandung perubahan poltik hukum untuk memperkuat MK, tetapi justru memperlemah MK yang menyebabkan terjadinya Politization of the Judiciary.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Susi juga menyoroti ketentuan minimal usia hakim MK dalam revisi RUU MK, yang semula 47 tahun menjadi 60 tahun. Setelah membaca naskah akademik, tidak ada argumentasi kenapa usia minimal hakim MK 60 tahun? Namun, yang dijelaskan hanya argumentasi pensiun hakim MK menjadi 70 tahun. “Usia minimal 60 tahun ini, saya agak pesimis apakah hakim MK nantinya mencurahkan seluruh energinya untuk membuat putusan seperti hakim yang lebih muda? Jangan-jangan akan menyerahkan ke panitera dalam membuat putusan.”

 

Dia melihat pembentukan UU harus partisipatif sebagai sendi demokrasi, negara hukum, dan konstitusionalisme, sehingga partisipasi publik sebuah kenicayaan. Sebab, UU bagi rakyat adalah cara mengatur dirinya, negara, dan pemerintah. “Jadi kalau ada pembuat UU yang tidak melibatkan rakyat, maka telah menegasikan demokrasi dan UU tersebut cacat hukum,” tegasnya.

 

Imoralitas politik

Senada, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar menilai isi RUU MK hanya berkutat pada usia minimal pencalonan dan batas masa jabatan untuk menguntungkan kelompok tertentu. "Apa kaitan masa jabatan dengan problem di MK? Pertanyaan paling menarik adalah kenapa masa jabatan? Saya menduga ada kelompok kepentingan dan kelompok yang diuntungkan. Kelompok yang berkepentingan tentu sangat banyak, kelompok yang memasukkan wakil mereka ke MK," kata dia.

 

Mantan Hakim MK I Dewa Gede Palguna menilai revisi UU MK ini, ada semacam imoralitas politik karena bakal dibahas di tengah masa pandemi. Menurutnya, memang banyak yang perlu direvisi dalam UU MK. Tapi, yang direvisi hanya substansi perpanjangan usia hakim dan perpanjangan masa jabatan hakim MK. “Sehingga, orang lain tidak punya alternatif pikiran lain selain bahwa revisi UU MK ini adalah permainan (politik, red),” kata Palguna.

 

Menurut Palguna, revisi UU MK sangat penting karena berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, yang seharusnya perlu juga direvisi adalah proses pemilihan hakim MK yang perlu memiliki standar dikarenakan sembilan hakim MK terdiri dari 3 pengusung yakni MA, DPR dan Presiden. Karena itu, diperlukan standar pemilihan yang sama dari tiga pengusung ini. “Saat ini, hanya dari unsur Presiden yang pemilihannya terbuka, tetapi unsur lainnya belum.”

 

Palguna mempertanyakan apa motivasinya revisi UU MK ini dibahas pada masa pandemi. “Jadi, kalau memang revisi UU MK ini benar-benar dibahas yang akan menjadi bulan-bulanan nantinya MK, bukan DPR karena orang lain akan berpikir yang diuntungkan adalah MK meski pengusul revisi UU MK ini,” katanya.

 

Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengajukan usulan RUU MK. Supratman mengatakan, RUU MK itu perlu dilakukan untuk penyesuaian dengan putusan MK terkait UU tersebut yang belum ditindaklanjuti. Menurut dia, beberapa putusan MK hasil uji materi akan dimasukan dalam pembahasan RUU MK.

 

Menurutnya, RUU MK juga akan dibahas terkait penyeragaman usia pensiun hakim di MK dengan hakim agung di Mahkamah Agung yaitu usia 70 tahun. Termasuk syarat-syarat menjadi hakim MK, Salah satunya syarat usia minimal 60 tahun. Supratman menambahkan pembahasan RUU MK masih menunggu respons dari pemerintah yaitu berupa Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). 

Tags:

Berita Terkait