Guru Besar UGM Beberkan Inkonsistensi PP Hak Pengelolaan
Utama

Guru Besar UGM Beberkan Inkonsistensi PP Hak Pengelolaan

Dari 104 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, terdapat 16 pasal inkonsisten baik secara internal dan vertikal.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kontradiksi logika hukum juga ditemukan dalam Pasal 46 huruf b angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 yakni dihapusnya HGB dan HPJW di atas tanah Hak Milik berdasarkan pembatalan hak tersebut oleh Menteri ATR/BPN. Nurhasan berpendapat HGB dan HPJW di atas tanah berstatus Hak Milik lahir dari perjanjian, sehingga yang berhak membatalkan perjanjian adalah para pihak atau putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde.

“Ini kontradiksinya yakni haknya lahir dari perjanjian, tapi dibatalkan oleh pejabat tata usaha negara,” bebernya.

Inkonsistensi vertikal antara lain terlihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PP 18/2021 yang bertentangan dengan Pasal 137 ayat (1) dan (3) UU Cipta Kerja dan Pasal 3 UU Pokok Agraria. Pasal 4 dan Pasal 5 PP ini mengatur asal tanah yang dapat diberikan untuk HPL selain tanah negara, juga tanah ulayat yang hanya dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat (MHA).

Tapi, Pasal 137 UU Cipta Kerja menentukan tanah yang diberikan dengan HPL hanya berasal dari tanah negara dan tidak mengamanatkan MHA sebagai subyek yang dapat diberi HPL. Begitu juga Pasal 3 UU Pokok Agraria yang menegaskan tanah ulayat hanya dapat dilekati Hak Ulayat yang diberikan kepada subyek hukum yaitu MHA. “Ini bukan jalan pintas menyelesaikan persoalan hak ulayat,” ujarnya mengingatkan.

Kemudian pemilikan HGB oleh WNA sebagaimana diatur Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP No.18 Tahun 2021 sebagai penjabaran Pasal 144 dan Pasal 145 UU Cipta Kerja menurut Nurhasan inkonsisten dengan Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria. Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP ini mengatur WNA boleh memiliki HGB yang digunakan untuk bangunan rumah susun (rusun) dan berada di kawasan khusus, seperti KEK, KPBPB, KI dan kawasan khusus lainnya. Ketentuan itu dibuka peluangnya melalui Pasal 144 dan Pasal 145 UU Cipta Kerja. Padahal, Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria menutup peluang WNA mempunyai HGB untuk segala bentuk penggunaannya.

Inkonsistensi ini bagi Nurhasan terjadi setidaknya karena 4 hal. Pertama, kemampuan memahami baik rujukan, dan unsur perbuatan/kondisi yang akan diatur. Terkait juga dengan kemampuan membangun kerangka berpikir yang sistematis dan logis. Serta kemampuan memahami masalah faktual secara utuh. Kedua, pembentukan beleid dilakukan terburu-buru atau kejar tayang. Ketiga, keterlibatan publik yang tidak optimal. Keempat, kepentingan ekonomi dan politik.

Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPNS, Suyus Windayana, mengatakan lembaganya telah menyelesaikan 5 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Salah satunya PP No.18 Tahun 2021 ini. Beleid yang diterbitkan 2 Februari 2021 itu ditujukan antara lain untuk memperkuat HPL. Melalui hak pengelolaan, pemerintah akan mengontrol dan mengendalikan fungsi pemanfaatan tanah, sehingga dapat lebih mengedepankan prinsip kepentingan umum; kepentingan ekonomi; kepentingan pembangunan; dan kepentingan sosial.

“PP No.18 Tahun 2021 menyempurnakan pengaturan pemberian hak atas tanah yang sebelumnya diatur dalam PP No.40 Tahun 1996 dengan beberapa materi/substansi baru,” kata Suyus dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait