Guru Besar UGM Ini Sebut TWK Bentuk Obstruction of Justice
Terbaru

Guru Besar UGM Ini Sebut TWK Bentuk Obstruction of Justice

Seharusnya materi tes wawasan kebangsaan berkorelasi dalam pemberantasan korupsi. TWK bukanlah ukuran kuantitatif dalam mengukur seseorang Pancasilais atau tidak, tetapi sebuah komitmen yang dibuktikan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Pembelahan di tubuh KPK tampak nyata, tak hanya di KPK, tapi juga di masyarakat. Bagi Prof Sigit, gejala tersebut bagi amat mengkhawatirkan dalam pemberantasan korupsi bagi bangsa dan negara dalam hal berkontribusi pada peradaban. Sebab, upaya pembelahan yang dilakukan dengan cara yang melanggar hukum, etika, moralitas, dan kaidah akademik.

TWK bukan ukuran kuantitatif

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Atip Latipulhayat berpendapat wawasan kebangsaan sejatinya komitmen terhadap tujuan bernegara sebagaimana semangatnya dalam pembukaan konstitusi yang dielaborasi dalam pasal-pasal di UUD 1945. Karenanya, kata Prof Atip, TWK bukanlah ukuran kuantitatif dalam mengukur seseorang Pancasilais atau tidak. Akan tetapi sebuah komitmen yang dibuktikan.

“Orang tidak bisa menilai apa yang ada di kepalanya,” ujarnya.

Dia mencontohkan seseorang yang sepanjang hidupnya berniat melakukan kejahatan pencurian tanpa dibuktikan dengan perbuatan, maka tak dapat dinilai sebagai pencuri. Baginya, wawasan kebangsaan mesti diluruskan, bukan disebabkan kuasa melalui seleksi politik. Namun wawasan kebangsaan ditujukan untuk mengetahui komitmen dalam hal pemberantasan korupsi di KPK.

“Mereka sudah ada yang 16 tahun, 17 tahun lebih, bahkan sudah terbukti komitmen dan menjadi realita prestasi serta kerja yang terukur. Menurut saya dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan jelas wawasan kebangsaan itu bukan sebuah uji eksaminasi untuk melihat komitmen dalam pemberantasan korupsi.”

Atip pun mempertanyakan sejumlah materi pertanyaan dalam TWK yang tidak memiliki korelasi dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seolah upaya konfirmasi dalam profiling, tapi tak jelas mekanismenya. Semestinya, kata Prof Atip, semua materi TWK khusus alih status pegawai menjadi ASN mengerucut pada tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPK.

Sementara mantan komisoner Ombudsman periode 2016-2021 Ahmad Alamsyah Saragih menilai semestinya wawasan kebangsaan yang digunakan sebagai bagian tes bagi seleksi calon ASN baru, bukan peralihan pegawai KPK. Alamsyah berpendapat polemik peralihan pegawai KPK menjadi ASN tak akan berkepanjangan bila ada “wasit” sebagai penengah untuk mencari jalan keluar.

“Saran saya KPK berkoordinasi dengan Ombudsman agar segera mendapat hasil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait