Hadapi Uji Materi UU Hak Cipta, Organisasi Musisi Gandeng 10 Pakar Hukum
Utama

Hadapi Uji Materi UU Hak Cipta, Organisasi Musisi Gandeng 10 Pakar Hukum

FESMI akan membentuk sebuah tim dengan nama Tim Sepuluh. Meski tak menyebutkan nama, tim ini akan diisi oleh para ahli dan juga para pengacara secara pro bono.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Dengan demikian, perusahaan rekaman harus melakukan kesepakatan baru dengan para pencipta. Namun masalahnya UU Hak Cipta dirancang untuk memberikan posisi tawar yang setara antara perusahaan rekaman dan musisi, pencipta lagu, dan penyanyi. Candra berpendapat uji materi tersebut berupaya untuk menjatuhkan posisi tawar rekan-rekan musisi, pencipta lagu dan penyanyi dalam negosiasi kesepakatan baru.

Atas situasi tersebut, selaku pihak yang peduli atas kepentingan musisi, penyanyi, dan pencipta lagu, Candra menegaskan FESMI tidak bisa diam. FESMI sudah mengambil langkah-langkah terpadu atas uji materi UU Hak Cipta dengan merekrut sepuluh pakar hukum dan membentuk sebuah tim dengan nama Tim Sepuluh. Meski tak menyebutkan nama, Tim Sepuluh ini diisi oleh para ahli dan juga para pengacara secara pro bono.

“FESMI tidak bisa diam. Dan kami sudah melakukan langkah-langkah Langkah-langkah tepadu dan dan kita sudah meminta dan merekrut sepuluh pakar hukum. Kami juga sudah membentuk tim, Tim Sepuluh namanya, ada beberapa teman-teman pengacara yang hadir dan mereka pro bono karena peduli dengan situasi ini,” imbuhnya.

Selain itu, Candra juga meminta kepada teman-teman musisi, pencipta lagu, dan penyanyi untuk menggalang persatuan dan mendukung langkah FESMI untuk melindungi hak-hak para musisi dan pencipta lagu.

Sebelumnya, Plt Dirjen KI Kemkumham Razilu menyampaikan bahwa pada prinsipnya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut memuat jangka waktu kepemilikan hak cipta atas lagu. Permohonan tersebut meminta hak ekonomi lagu tidak kembali ke pencipta dan pemegang hak terkait setelah 25 tahun diciptakan seperti yang saat ini diatur dalam UU Hak Cipta.

Namun, Razilu menjelaskan bahwa latar belakang lahirnya pasal 18 dan 30 UU Hak Cipta Hak Cipta didasarkan untuk membela hak-hak pencipta yang sebelumnya terikat pada perjanjian tanpa batas waktu atau jual putus. Sebelum adanya pasal tersebut, pencipta, pelaku pertunjukan, dan penyanyi tidak menikmati royalti dari hasil penjualan lagunya dikarenakan mereka telah melakukan perjanjian tanpa batas waktu atau jual putus.

Oleh karenanya, dalam audiensi organisasi profesi music bersama Plt Dirjen KI pada Jumat lalu, (10/11), para pencipta merasa keberatan apabila pasal 18 dan 30 UU Hak Cipta diuji ulang. Tanpa pasal tersebut, mustahil mereka dapat meninggalkan warisan berupa hak ekonomi karya cipta lagu pada keturunan mereka kelak.

“Seharusnya pencipta dan pemegang hak terkait melaksanakan prinsip symbiosis mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pada dasarnya pemerintah akan mempertahankan Undang-Undang yang sudah ada,” tutur Razilu dalam keterangan pers.

Dalam praktiknya di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, hal ini dikenal dengan Termination Rights atau pembatasan dalam perjanjian atas karya lagu. Dengan dasar itu lahirlah pasal 18 dan 30 untuk membela hak asasi pencipta, pelaku pertunjukan, dan penyanyi.

Razilu menambahkan bahwa pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual akan mempertahankan pasal tersebut sebagai bentuk pelindungan terhadap pencipta dan pemegang hak terkait dengan pertimbangan latar belakang lahirnya Undang-undang tersebut.

Tags:

Berita Terkait