Hak Angket KPK Dinilai ‘Salah Alamat’
Berita

Hak Angket KPK Dinilai ‘Salah Alamat’

Penggunaan hak angket ini menunjukkan bahwa tekanan politik menguat ketika KPK mengusut kasus e-KTP yang diduga melibatkan anggota dan pimpinan DPR.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES
Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menyebut inisiatif hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sejumlah anggota DPR khususnya Komisi IIIbertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

Peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim mengatakan, sesuai bunyi Pasal 79 ayat 3 UU MD3 bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan perundang-undangan.

"Jelas, hak angket seharusnya ditujukan kepada pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK," katanya saat jumpa pers di kantor Pukat UGM di Yogyakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (28/4). (Baca Juga: Usulan Hak Angket Kasus Miryam Diputuskan dalam Paripurna DPR)

Menurut Hifdzil, penggunaan hak angket yang ‘salah alamat’ ini menunjukkan bahwa tekanan politik menguat ketika KPK mengusut kasus e-KTP yang diduga melibatkan anggota dan pimpinan DPR. Ia menilai hak angket KPK yang digulirkan oleh Komisi III DPR RI bisa menghambat pengungkapan korupsi e-KTP.

Alasannya, lanjut Hifdzil, jika rekaman BAP tersangka pemberi keterangan e-KTP Miryam S Haryani dibuka, ada kemungkinan nama-nama yang disebutkan di dalamnya bersiap-siap melarikan diri. "Mereka bisa melakukan tindakan obstruction of justice (menghalang-halangi proses penegakan hukum)," katanya.

Oleh sebab itu, menurut Hifdzil, inisiatif hak angket hanyalah upaya serangan balik terhadap KPK agar terhambat dalam mengungkap kasus-kasus besar. "Pengalaman membuktikan serangan balik semakin gencar setiap KPK mengungkap kasus besar," kata Hifdzil.

(Baca Juga: Usulan Hak Angket Rekaman Miryam Bentuk Intervensi Hukum)
UU MD3

Pasal 79 ayat (3)
Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk diketahui, Rapat Paripurna DPR menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hak angket itu untuk mendesak KPK membuka rekaman BAP tersangka pemberi keterangan e-KTP Miryam S Haryani.

Sejumlah anggota DPR dari beragam fraksi pun menolak penggunaan hak angket ini. Bahkan, seluruh anggota Fraksi Partai Gerindr walk out dari ruang rapat usai menyampaikan penolakannya terhadap hak angket ini. (Baca Juga: Pengambilan Keputusan Hak Angket KPK Terkesan ‘Dipaksakan)

Sejumlah anggota DPR dar fraksi lain seperti Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa juga menolak hak angket. Hujan interupsi pun tak terelakkan lagi. Namun, ketua rapat, yang juga Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, tetap mengetuk palu tanda hak angket disetujui.

Sebelumnya, koordinator korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan mekanisme sebagaimana tertuang dalam Pasal 199 ayat (3) UU MD3 tak digubris Fahri sebagai pimpinan rapat paripurna. Sebaliknya, Fahri malah langsung mengetuk palu sidang untuk mengambil keputusan. Bahkan interupsi dari sejumlah anggota dewan yang menolak  keputusan tesebut diabaikan.

Donal menilai tindakan Fahri ilegal. Bahkan, bisa disebut abuse of power. Sebab, memutuskan sepihak tanpa adanya mendengarkan sikap dan pandangan anggota lain. Lagi pula tindakan Fahri dinilai merendahkan hak masing-masing anggota untuk memberikan sikap atas pengajuan hak angket tersebut “Kewenangan pengambilan keputusan bukanlah hak pimpinan, melainkan anggota,” ujarnya mengingatkan.

Dikatakan Donal, lantaran prosedur formal tak terpenuhi, maka hak angket menjadi cacat hukum. Akibatnya, penggunaan hak angket ini tak dapat digunakan. Ia berharap KPK tak perlu memenuhi undangan forum hak angket lantaran tidak sesuai prosedur dan mekanisme sesuai peraturan perundangan yang berlaku. “KPK tidak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum tersebut,” katanya.
Tags:

Berita Terkait