Lebih dari 90 persen penduduk dunia saat ini hidup di negara yang memiliki ketentuan kuat tentang hak masyarakat mengakses informasi. Penduduk Indonesia termasuk di dalamnya. Sejak era reformasi, pengakuan terhadap hak informasi sudah dikukuhkan dalam beragam jenis peraturan perundang-undangan, mulai dari Ketetapan MPR, Undang-Undang, hingga peraturan pemerintah. Kehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bisa jadi puncak pengakuan negara atas hak warga negara terhadap informasi.
Berdasarkan penelusuran Hukumonline, hak atas informasi yang paling banyak menimbulkan sengketa perdata berada dalam hubungan konsumen dan produsen. Tetapi sebenarnya, hak tersebut dikenal juga dalam pelayanan publik, administrasi pemerintahan, dan lingkungan hidup.
Lingkup perlindungan konsumen tersebut juga luas, bukan hanya perbankan dan produk barang/jasa, tetapi kini juga mengarah pada layanan pertanahan. Simaklah poin penting diskusi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), 15 Agustus lalu. Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, mengatakan tertib administrasi pertanahan termasuk yang dibenahi agar masyarakat tidak menjadi korban mafia tanah.
Ketua Komisi Advokasi BPKN, Rolas B Sitinjak mengatakan bahwa dalam kasus pertanahan, negara harus hadir memastikan konsumen mendapatkan hak-haknya. Apalagi, warga sering menjadi korban karena kurang mendapatkan informasi mengenai aspek hukum pertanahan. “Mafia tanah harus diberantas,” imbuh Rolas.