Hak Orang yang Mengalami Gangguan Jiwa dalam Pemilu
Berita

Hak Orang yang Mengalami Gangguan Jiwa dalam Pemilu

Penyandang disabilitas mental adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Jika ditelisik, larangan terhadap penyandang disabilitas mental sudah pernah diatur dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun ketentuan ini kemudian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan No. 135/PUU-XIII/2015.

Dalam UU Penyandang Disabilitas, hak ini dilindungi tanpa terkecuali. Pasal 75 ayat (1) UU dimaksud menyatakan Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik serta lansung atau melalui perwakilan. Pasal 77 menyatakan pemerintah dan Pemda wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain, termasuk: (a) berpartisipasi lansung untuk ikut dalam kegaitan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; (b) mendapat hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lainnya.

Selanjutnya, Pasal 148 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Secara Medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.

Diakui, penyandang disabilitas mental dengan disfungsi kognitif yang berat akan mempengaruhi kemampuan kapasitasnya, tetapi fungsi kognitif tetap dapat ditingkatkan dengan pembelajaran dan pelatihan. Umumnya penyandang disabilitas mental bersifat kronik dan episodik (kambuhan). Jika periode kambuhan terjadi di hari pemilu, khususnya pada waktu pencoblosan, tentu tidak mungkin memaksakannya datang ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suaranya. Namun, di luar periode episodik, pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu.

(Baca juga: Penyandang Disabilitas Mulai Dilirik Parpol Sebagai Calon Berkualitas).

Kehilangan kapasitas memilih pada episode kambuh ini terjadi juga pada penyakit non-jiwa atau penyakit fisik lainnya. Penderita epilepsi misalnya, tentu tidak dapat datang ke TPS untuk memilih jika pada hari pemilu ia sedang mengalami kekambuhan (kejang-kejang). Juga untuk penderita sakit gula (Diabetes Mellitus), bila pada hari pemilu sedang mengalami koma diabetikus sehingga harus masuk ICU maka tidak mungkin bagi penderita untuk datang ke TPS. Bahkan kehilangan kemampuan memilih juga dapat terjadi pada orang sehat yang tiba-tiba pada hari pencoblosan mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tidak sadar dan memerlukan perawatan intensif.

“Jika situasi sedang tidak memungkinkan, tidak hanya penyandang disabilitas mental, siappaun tidak bisa menggunakan hak pilihnya,” ujar Ketua Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia, Irmansyah.

Hambatan pemulihan penyandang disabilitas mental yang serius bukan pada pengobatan klinis, tetapi pada faktor psikososial yang dihadapi oleh mereka. Banyak penderita dengan gejala yang sudah hilang atau minimal setelah mendapatkan pengobatan, kembali kambuh karena mengalami berbagai tekanan psikososial saat ia berada di tengah keluarga dan masyarakat. Karenanya untuk mencapai pemulihan yang optimal, stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita harus dikurangi dengan memberikan informasi yang tepat tentang gangguan jiwa, serta dengan berbagai kebijakan yang melindungi penderita serta yang mendorong penerimaan masyarakat terhadap Penyandang Disabilitas Mental.

Tags:

Berita Terkait