Hak Pekerja Perempuan Masih Terabaikan
Utama

Hak Pekerja Perempuan Masih Terabaikan

Sering mengalami pelecehan seksual dan diskriminasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit

Senada, anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan yang mengidap HIV/AIDS.

Selain itu Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya, menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong rentan. "Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja," ucapnya.

Sedangkan anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan media tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media masih didominasi perspektif kaum lelaki.

Soal penata laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke Maris, mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis pekerjaan itu. Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi banyak, mulai dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak majikan. Secara umum pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT. Mengingat PLRT didominasi oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan pemerintah terhadap mereka sangat minim. Terutama PLRT yang masih berusia anak-anak. “Hak anak tidak mereka dapatkan seperti pendidikan dan bermain,” tukasnya.

Tak ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya, ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.

Mengacu berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi potongan harga untuk pengguna jasa TKI.

Melihat fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,” urainya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait