Mengetahui Bagaimana Hak Waris Anak Tunggal dalam Hukum
Premium Stories

Mengetahui Bagaimana Hak Waris Anak Tunggal dalam Hukum

Untuk pihak perempuan maka ia dapat 1/2 dari seluruh harta, jika laki-laki mendapat seluruhnya setelah dikurangi 1/6 untuk masing-masing orang tua mayyit.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit
Mengetahui Bagaimana Hak Waris Anak Tunggal dalam Hukum
Hukumonline

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Premium Stories. Temukan ulasan pengadilan penting, isu dan tren hukum terkini lainnya hanya di Premium Stories. Berlangganan sekarang hanya Rp42rb/bulan dan nikmati sajian produk jurnalisme hukum terbaik tanpa gangguan iklan. Klik di sini untuk berlangganan.

Kasus kecelakaan tragis yang dialami Vanessa Angel dan suaminya Febri (Bibi) Ardiansyah sehingga keduanya meninggal dunia menyisakan duka yang mendalam. Sang anak, Gala Sky Ardiansyah secara otomatis menjadi yatim piatu karena sudah tidak lagi mempunyai orang tua. Sebelumnya muncul pertanyaan siapa yang akan memiliki hak asuh atas Gala dan juga bagaimana hak warisnya mengingat usianya baru satu tahun.

Untuk hak asuh, telah dicapai kesepakatan jika Gala akan dirawat oleh keluarga dari Bibi, suami dari Vanessa. Sementara untuk waris asuransi diberikan pada Doddy Sudrajat, ayah dari Vanessa. Hal itu diketahui dari keterangannya yang dilansir dari Youtube Starpro Indonesia. Bahkan ia mengaku telah dihubungi pihak asuransi dan menanyakan data dirinya.

"Tadi pagi, sudah ditelepon dari pihak Prudential, langsung ditelpon ke saya, minta data-datanya untuk diurus semuanya," ujar Doddy.

Lalu bagaimana dengan Gala? Apa saja hak yang didapatnya sebagai anak laki-laki tunggal? Tulisan ini sebenarnya tidak hanya berpatokan pada kejadian yang dialami Gala saja, tetapi akan menjelaskan mengenai hak waris yang akan didapat anak tunggal terlepas itu laki-laki ataupun perempuan?

Dilansir dari blog.justika.com, waris dalam Islam sendiri diartikan sebagai sebuah aturan yang memang dibuat untuk mengatur berbagai hal mengenai pengalihan atau perpindahan sejumlah harta seseorang yang sudah meninggal dunia kepada keluarga atau orang lain yang sudah disebutkan sebagai ahli waris oleh si pemilik harta. Hukum waris dalam Islam termasuk sangat lengkap sehingga bisa dijadikan suatu dasar hukum dalam pembagian harta tersebut, contohnya mengatur siapa saja yang akan menjadi ahli waris, jenis harta warisan, sampai berapa banyak jumlah bagian para ahli waris.

Dalam islam, setidaknya ada tiga dasar yang mengatur tentang hak waris. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 180 yang menjelaskan bahwa warisan adalah sebuah kewajiban bagi semua umatnya yang bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam surah ini kita bisa melihat bahwa wasiat merupakan keinginan si pemilik harta apabila ia meninggal nanti maka hartanya akan dibagikan sehingga harta duniawi bisa dipergunakan dengan baik tanpa menimbulkan konflik dari para ahli waris.

Kedua, surah An-Nisa ayat 11-12 yang menjelaskan tentang keutamaan melakukan pembagian harta warisan. Selain itu juga disebutkan mengenai bagaimana proses atau sistematika pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Sehingga jumlah bagian pembagian harta warisan serta siapa saja yang berhak menjadi ahli waris.

Ketiga, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI sendiri juga memuat peraturan Islam terkait perkawinan, perwakafan, pewarisan, dan lainnya di mana semuanya berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadist.

Sementara apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Setidaknya ada dua prinsip dasar pewarisan menurut aturan tersebut. Pertama, harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830 KUHPerdata).

Dan kedua adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri dari pewaris (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/istri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris. Selain menurut Islam dan KUHPerdata, soal waris juga bisa diatur secara adat.

Anak tunggal

Dalam surah An-Nisa ayat 11 setidaknya ada lima poin utama mengenai waris, yaitu harta warisan untuk anak laki-laki dua kali bagian dari anak perempuan, apabila almarhum/almarhumah tidak ada anak laki-laki dan hanya punya anak perempuan, apabila anak perempuan tunggal maka bagiannya 1/2 dari seluruh harta, sedangkan apabila anak perempuannya lebih dari seorang maka bagian harta warisannya adalah 2/3.

Lalu bagian warisan bapak dan ibu apabila almarhum/almarhumah memiliki anak maka keduanya sama-sama mendapat 1/6, bagian harta warisan ibu apabila si mayyit tidak ada anak adalah 1/3 dan harta warisan dibagi setelah membayar hutang almarhum/almarhumah. Di sini memang tidak dijelaskan secara rinci perihal anak laki-laki tunggal.

Namun jika dilihat dari penjelasan jika anak wanita tunggal mendapat 1/2 dari waris maka besar kemungkinan anak laki-laki tunggal mendapat seluruh hak waris dikurangi hak untuk kedua orang tua almarhumah dan utang piutang. Harta waris yang dimaksud termasuk royalti, asuransi, uang kerahiman dan seluruh harta yang timbul dari kematian.

Arovah Windiani, pakar hukum waris dan keluarga mengamini hal tersebut. Menurutnya, dengan kematian yang timbul maka ahli waris paling dekat adalah bapak, ibu dan anak. Misal almarhum/almarhumah mempunyai harta sebesar Rp200 juta, maka harta harta itu akan dibagi terlebih dahulu masing-masing Rp100 juta.

Dari angka tersebut, ayah dan ibu almarhum laki-laki mendapat masing-masing mendapat 1/6 dari 100 juta dan sisanya ke anak. Begitu pula untuk orang tua almarhumah perempuan, masing-masing mendapat 1/6 dari Rp100 juta, dengan catatan baik orang tua almarhum/almarhumah merupakan orang tua kandung. “Kalau bukan kandung tidak dapat, sisanya itu ke anaknya,” jelas Arovah kepada Hukumonline.

Hal senada dikatakan Heru Wahyono, Penyuluh Hukum Ahli Madya BPHN, Kementerian Hukum dan HAM. Menurutnya, kalau anak tunggal laki-laki bisa juga disebut ashabah yang artinya ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

Jika anak laki-laki tunggal maka setelah harta waris orang tuanya yang meninggal dibagi kepada bapak dan ibu dari pihak almarhum laki-laki dan almarhumah perempuan dan dikurangi dengan utang serta penguburan maupun pengeluaran lain, maka sisanya menjadi milik anak tunggal. “Kalau itu laki-laki dia mendapat seluruh harta, masih ada orang tua, jadi orang tua dapat, sisanya untuk anak,” terangnya kepada Hukumonline.

Yurisprudensi

Dalam putusan nomor 122K/AG/1995, ada contoh perkara mengenai waris anak tunggal. Mulanya seorang yang bernama Ny titi meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari 1 orang anak kandung dan 4 orang saudara kandung. Harta warisan yang ditinggalkan Ny Titi terdiri dari tanah, bangunan dan sejumlah uang belum dibagi dan berada dalam penguasaan anak kandung (tati) dan seorang saudara pewaris (wawin).

Para ahli waris yang lain (3 orang saudara pewaris) mengajukan gugatan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Oleh pengadilan tingkat pertama, gugatan tersebut diterima dan hakim memutus porsi masing-masing warisan bagi masing-masing ahli waris (anak dan saudara pewaris). Namun di tingkat banding, putusan dibatalkan dan gugatan penggugat NO.

Tak terima, penggugat pun mengajukan kasasi ke MA, dan hasilnya hakim agung memperbaiki putusan sebelumnya karena adanya kesalahan penerapan hukum. Oleh sebab itu, hakim menilai anak perempuan kandung pewaris (tergugat I) adalah ahli waris yang berhak atas warisan sedangkan saudara saudara pewaris lainnya menjadi terhijab/tertutup.

Kemudian juga ada putusan MA Nomor 308 K/AG/2010. Ahli waris Ny Omih Sukaeni mengajukan gugatan perihal waris hingga tingkat kasasi terhadap ahli waris maskun & ahli waris sang istri Itin Sutini. Kasus bermula ketika Ny Omih Sukaeni dan Maskun (tergugat I) diangkat sebagai anak oleh Ny Iok Rapiah anak perempuan tunggal dari pasangan Isah dan H Fatah yang sudah meninggal dunia.

Selaku ahli waris, tergugat I memiliki tanah dengan SHM 1267 yang merupakan gabungan 3 leter C tanah milik pewaris. Tanah tersebut kemudian dijual oleh tergugat. Pengadilan Agama Sumedang mengeluarkan penetapan yang intinya: menyatakan sah hibah wasiat yang diterima oleh tergugat (tanah beserta bangunan di atasnya).

Para tergugat yang merupakan ahli waris Ny Omih Sukaeni (saudara tiri/sesama anak angkat dengan tergugat I) merasa keberatan akan penetapan tersebut. Dengan dalil Pengadilan Agama tidak berwenang, orang tua penggugat tidak diikutsertakan dalam penetapan, dan terdapat ketidakjelasan informasi kapan hibah wasiat dilakukan serta apa saja batas batas objek yang sedang disengketakan.

Oleh Pengadilan Agama Sumedang, gugatan penggugat ditolak. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan di tingkat Mahkamah Agung pun permohonan pemohon kasasi dalam hal ini penggugat/pembanding ditolak oleh Mahkamah Agung. Adapun alasan Mahkamah Agung adalah alasan pemohon yang tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan penerapan hukum oleh hakim pada tingkat pengadilan sebelumnya.

Hak asuh

Jika anak tunggal tersebut sudah dewasa maka tentu ia bisa mengelola sendiri harta warisannya, namun bagaimana bila anak tunggal laki-laki tersebut belum dewasa?

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang. Sebagian memberi batasan 21 tahun, sebagian lagi 18 tahun, bahkan ada yang 17 tahun. Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan.

Namun jika berpatokan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 47 menyebutkan anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. Sehingga bisa dibilang jika belum mencapai usia tersebut maka ada pihak yang menjadi wali.

Hukumonline.com

Hukumonline.com

Hukumonline.com

Arovah Windiani mengatakan jika hak asuh anak di bawah usia tersebut jatuh pada keluarga dekat pihak laki-laki, dalam hal ini ayah dari almarhum. Kemudian untuk pengelolaan harta warisan bisa dilakukan oleh wali untuk kebutuhan anak yang ditinggalkan, namun harus ada saksi.

“Pakai uang itu sepanjang dia memerlukan, tetapi harus sepengetahuan orang lain, misal dia perlu dihitung beli pampers berapa, dan harus ada saksi. Itu harus transparan,” kata Arovah.

Sementara Heru Wahyono berpendapat jika hal itu sebenarnya dapat didiskusikan antar keluarga tentang siapa yang menyanggupi menjadi wali. “Perwalian Itu bisa dimusyawarahkan siapa yang siap untuk menerima,” tuturnya. Kemudian mengenai pengelolaan harta bila terjadi sengketa maka bisa diajukan ke Pengadilan.

Tags:

Berita Terkait