Hakim Agung Kamar Pidana Beberkan 3 Tantangan Independensi Hakim
Terbaru

Hakim Agung Kamar Pidana Beberkan 3 Tantangan Independensi Hakim

Meliputi ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap pemenuhan rasa keadilan; informasi yang cepat di era revolusi industri 4.0; dan keterbatasan anggaran untuk pengamanan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES

Independensi hakim menjadi salah satu unsur utama dalam penegakan keadilan. Karena itu, Pasal 24 UUD Tahun 1945 mengatur kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menekankan hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Dwiarso Budi Santiarto, mengatakan dalam arti sempit independensi kekuasaan kehakiman berarti independensi institusional. Dalam arti lain disebut independensi struktural atau independensi eksternal atau independensi kolektif. Secara luas independensi kekuasaan kehakiman meliputi juga independensi individual, internal atau personal.

Dapat dilihat juga dari 2 sudut pandang yaitu independensi personal yaitu independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama hakim atau koleganya. Independensi substantif yaitu independensi hakim terhadap kekuasaan manapun baik ketika memutuskan suatu perkara atau menjalankan tugas dan kedudukannya sebagai hakim.

Independensi hakim sebagai syarat mutlak tegaknya hukum dan keadilan. “Negara berdasarkan hukum harus ada independensi kekuasaaan kehakiman,” kata Dwiarso dalam kegiatan bertema Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan, Selasa (31/5/2022) kemarin.

Baca Juga:

Kendati demikian, Dwiarso mengingatkan kebebasan hakim dibatasi rambu-rambu akuntabilitas, integritas, moral, etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impersialitas. Kemandirian peradilan (independent judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability).

Untuk mewujudkan independensi hakim itu tidak mudah. Dwiarso menyebut sedikitnya ada 3 tantangan. Pertama, tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pemenuhan rasa keadilan. MA telah berupaya meningkatkan pelayanan terhadap mayarakat dengan membuat berbagai aplikasi. Selain itu, memberikan pembinaan terhadap aparat peradilan untuk mendorong peningkatan pelayanan.

Kedua, revolusi industri 4.0 memudahkan masyarakat mendapatkan informasi, tapi juga dapat menjadi media disinformasi dan framing dengan tujuan mempengaruhi putusan pengadilan. Ketiga, keterbatasan anggaran untuk melakukan pengamanan. Misalnya menyesuaikan struktur pengadilan agar sesuai dengan standar pengamanan, perekrutan, dan pelatihan tenaga pengamanan.

Soal keterbatasan anggaran, Dwiarso mengusulkan anggaran MA ditingkatkan setiap tahun. Apalagi jika ada peresmian pengadilan baru yang membutuhkan biaya lebih besar. Menurutnya, anggaran untuk MA harusnya sudah ditentukan sejak awal seperti anggaran untuk pendidikan sebesar 30 persen.

“Biar MA yang mengolah sendiri untuk kebutuhannya. Kalau itu bisa dilakukan maka MA akan lebih solid dan kuat.”

Tags:

Berita Terkait