Padahal menurut Heri, merujuk pada ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen tidak diwajibkan untuk melakukan pembuktian. Kewajiban untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, jelasnya. Karena biasanya konsumen tidak mengetahui apakah dalam produk yang dipakai konsumen mengandung cacat tersembunyi atau tidak.
Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen memang menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, 22 dan 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal 19 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Pasal 22 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
|
Bukan pembuktian terbalik
Dihubungi terpisah, Sudaryatmo pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tidak terlalu takjub atas keputusan hakim PN Jakarta Selatan itu. Justru ia menilai hakim terlambat. Kalau penggugat sudah lebih dulu memaparkan bukti-buktinya, terus kemudian giliran tergugat membuktikan, itu sih namanya bukan pembuktian terbalik, melainkan pembuktian biasa kata Sudaryatmo.
Menurut Sudaryatmo, dalam perkara perlindungan konsumen, seharusnya pembuktian sejak awal langsung dibebankan kepada pelaku usaha. Konsumen hanya diwajibkan membuktikan mengenai kerugiannya saja.
Sedangkan pelaku usaha, masih menurut Sudaryatmo, harus mampu membuktikan bahwa produknya adalah hasil dari proses dan ketentuan yang berlaku. Selain itu, pelaku usaha harus membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen adalah akibat kesalahan konsumen. Itulah yang harus ditunjukkan pelaku usaha dalam pembuktian terbalik, Sudaryatmo berujar.
Apa yang dikhawatirkan Sudaryatmo terbukti. Pasalnya, ditemui seusai persidangan Siti Nur Intihani kuasa hukum tergugat mengaku tidak keberatan dengan usulan hakim. Inti, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa pihaknya telah lama mempersiapkan bukti-bukti yang akan diajukan ke persidangan.
Penggugat kan mungkin tidak mengetahui masalah teknik dan cara kerja berfungsinya air bag. Nanti kami yang akan membuktikannya. Jadi, tanpa ada perintah hakim seperti itu tadi, kami sebenarnya sudah siap, kata Inti.
Bisa menguntungkan sekaligus menyulitkan
Di lain pihak, Sudaryatmo mengaku agak khawatir jika masalah pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada pelaku usaha. Karena peluang untuk disalahgunakan oleh pelaku usaha sangatlah besar, mengingat konsumen tidak mengetahui mengenai prosedur dan aturan yang berlaku dalam pembuatan suatu produk, ia beralasan.
Karenanya, masih menurut Sudaryatmo, pembuktian terbalik akan tetap bisa melindungi konsumen sepanjang dua syarat terpenuhi. Pertama, telah timbul kerugian yang nyata di diri konsumen. Dan kedua adalah penggugat tetap diberikan akses informasi untuk dapat meng-counter pembuktian pelaku usaha, tandasnya.
Perkara ini sendiri bermula ketika pada Agustus 2006, Koribun membeli sebuah mobil Suzuki Grand Vitara. Petaka muncul saat Koribun sekeluarga, termasuk anaknya, Ali Imron Rosadi, mengalami kecelakaan di ruas jalan Semarang-Kudus pada November 2006. Dalam kecelakaan itu Ali Imron Rosadi meninggal. Para penggugat menuding salah satu sebab meninggalnya Imron adalah tidak berfungsinya fasilitas pengaman seperti air bag, body tag maupun sabuk pengaman (seat belt). Koribun pun meminta pertanggungjawaban Indomobil sebagai produsen dan Pusaka Motor sebagai penjual mobil.
Indomobil sendiri beranggapan bahwa tidak berfungsinya air bag karena pada kecelakaan tersebut, benturan tidak terjadi dari bagian depan mobil. Padahal sebagaimana sudah disebutkan dalam buku petunjuk, dijelaskan bahwa air bag hanya berfungsi jika terjadi tabrakan pada bagian depan mobil. Karena tidak terjadi titik temu, para pihak pun menyerahkannya ke pengadilan.
Perkara gugatan antara H. Koribun dan Siti Rohillah terhadap Indomobil dkk di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terus berlanjut. Perkara ini menjadi menarik tatkala sebelum menutup persidangan Kamis (12/7), Eddy Joenarso, ketua majelis hakim menyatakan agar proses pembuktian dalam sidang selanjutnya menggunakan prinsip pembuktian terbalik oleh pihak tergugat.
Eddy beralasan, setelah dicermati lebih jauh ternyata perkara ini merupakan perkara perlindungan konsumen. Dimana setelah melihat bukti-bukti yang diajukan, ternyata majelis berpendapat kedudukan di antara para pihak ternyata tidak sebanding dalam hal pembuktian, sehingga dirasa perlu bagi tergugat untuk melakukan pembuktian terbalik, ungkap Eddy.
Eddy kemudian menganalogikan perkara ini dengan perkara malpraktik kedokteran. Menurutnya, dalam perkara malpraktik korban biasanya tidak memiliki kapasitas cukup untuk membuktikan dalilnya. Sehingga kemudian pihak rumah sakit atau dokternya lah yang harus membuktikan bahwa tudingan malpraktik itu tidak benar.
Caranya adalah dengan menunjukkan medical record dimana dibuktikan bahwa langkah medis sudah dilakukan sesuai dengan prosedur. Mungkin hal serupa dapat diterapkan dalam perkara ini dimana tergugat mampu membuktikan bahwa produk yang dihasilkannya sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme kontrol yang berlaku, Eddy mencontohkan.
Keputusan majelis untuk menerapkan pembuktian terbalik dalam perkara ini disambut gembira oleh Heni Tjandrasari. Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Indonesia ini mengapresiasi tindakan yang diambil hakim. Karena, harus diakui, ini jarang dilakukan oleh hakim-hakim lain dimana ketika ada gugatan perlindungan konsumen, hampir sebagian besar hakim masih menggunakan hukum acara perdata biasa, tuturnya saat dihubungi hukumonline.