Hakim Belum Konsisten Terapkan Hukum Internasional
Berita

Hakim Belum Konsisten Terapkan Hukum Internasional

Status perjanjian internasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia harus diperjelas.

Oleh:
HOT (HOLE)
Bacaan 2 Menit

Dalam Putusan dengan nomor 2-3/PUU-V/2007 itu, hakim MK mengutip Pasal 27 dan 46 Vienna Convention on the Law of Treaties di halaman 420.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007

Artinya, berdasarkan kedua ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tersebut di atas, suatu negara tidak boleh membatalkan keterikatannyakepada suatu perjanjian internasionaldengan menggunakan ketentuan hukum nasional sebagai alasan, kecuali jikaketentuan hukum nasional dimaksud mempunyai nilai yang sangat penting

Hal serupa juga bisa dilihat dari praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, ketika menangani peninjauan kembali kasus Eurico Guterres. Dalam Putusan 34PK/PID.HAM.AD HOC/2007, hakim Mahkamah Agung mengutip Pasal 7 Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma), yang mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal, Indonesia sendiri belum meratifikasi Statuta Roma hingga sekarang, bahkan Indonesia bukan negara pihak dalam Statuta Roma.

“Dari yurisprudensi, perjanjian internasional masih digunakan sebagai persuasive rhetoric rules oleh hakim, dan belum bersifat authoritative rule seperti peraturan perundang-undangan,” lanjut Damos.

Menyikapi inkonsistensi pengadilan dalam menerapkan hukum internasional, Damos mengusulkan agar Pasal 11 UUD 1945 diamandemen. Tujuannya, untuk lebih memperjelas status perjanjian internasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Wacana untuk memperjelas status perjanjian internasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya telah mencuat sejak setahun kemarin, khususnya ketika ratifikasi Piagam ASEAN diuji di Mahkamah Konstitusi.

Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, mengusulkan agar ratifikasi perjanjian internasional tidak perlu diberikan “baju” sebagai undang-undang. Karena menurutnya, perjanjian internasional sudah mengikat ketika ada instrumen ratifikasi yang menyatakan ‘consent to be bound by a treaty’ dari sebuah negara, sehingga perjanjian internasional diperlakukan sebagai bentuk hukum tersendiri.

Tags:

Berita Terkait