Hakim Konstitusi Ini Sampaikan Prosedur Pengujian UU di MK
Utama

Hakim Konstitusi Ini Sampaikan Prosedur Pengujian UU di MK

Mulai dari proses pengujian formil-materil sebuah UU hingga implikasi dari putusan MK.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Hakim Konstitusi Suhartoyo saat memberi materi PKPA Angkatan ke-11 yang diselenggarakan DPC Peradi Jakarta Barat, Sabtu (10/9/2022). Foto: Humas MK
Hakim Konstitusi Suhartoyo saat memberi materi PKPA Angkatan ke-11 yang diselenggarakan DPC Peradi Jakarta Barat, Sabtu (10/9/2022). Foto: Humas MK

Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan dalam pengujian undang-undang (UU) di MK terdapat dua model yakni pengujian secara formil dan materil. Pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan proses/tata cara pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil. Sedangkan, pengujian materil UU adalah berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945.   

“Jadi, yang dipersoalkan oleh pemohon adalah prosedur pembentukan UU yang menurut pemohon tidak sesuai dengan tata caranya, tidak sesuai dengan proses pembentukannya, tidak sesuai dengan prosedur pembentukannya. Sedangkan pengujian material berkaitan pasal demi pasal atau ayat dengan ayat atau bahkan bagian dari pasal dan bagian dari ayat,” ujar Suhartoyo saat memberi materi pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan ke-11 yang diselenggarakan DPC Peradi Jakarta Barat, Sabtu (10/9/2022), seperti dikutip laman MK.

Suhartoyo menjelaskan, pengujian formil diajukan berdasarkan putusan MK dan dibatasi selama 45 hari sejak UU itu diundangkan dalam Lembaran Negara. “Kalau UU diundangkan hari ini untuk dapat diajukan di MK, sejak hari ini sampai 45 hari ke depan tenggang waktunya bisa diajukan pengujian. Kalau pengujian materil tidak dibatasi tenggang waktunya. Jadi UU yang sudah berpuluh-puluh tahun berlaku sampai sekarang ada saja yang mengajukan pengujian berkaitan dengan substansinya,” ujar Suhartoyo.

Dalam pengujian formil apabila dikabulkan, sambung Suhartoyo, seluruh undang-undang akan dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Sementara pada pengujian materil, hanya pada bagian yang diuji saja yang dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Selanjutnya, yang dapat mengajukan sebagai pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.

Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.

Suhartoyo juga menjelaskan, beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK,” kata Suhartoyo kepada para peserta PKPA.

Tags:

Berita Terkait