Hakim Kritik Jawaban Pemerintah tentang Aturan Mucikari
Utama

Hakim Kritik Jawaban Pemerintah tentang Aturan Mucikari

Arah politik hukum tentang kesusilaan tidak jelas, padahal nilai-nilai dalam masyarakat sudah begitu berkembang.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Para Hakim Konstitusi mendengarkan keterangan dari pihak pemerintah dalam sidang uji materi KUHP, Selasa (8/3) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Para Hakim Konstitusi mendengarkan keterangan dari pihak pemerintah dalam sidang uji materi KUHP, Selasa (8/3) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Pemerintah telah menyampaikan pandangan atas uji materi konstitusionalitas Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) diajukan  Robby Abbas, pria yang dihukum karena tuduhan mucikari alias germo.

Diwakili Koordinator Perdata dan TUN Kejaksaan Agung Erryl Prima Putera Agoes, Pemerintah intinya cenderung normatif memandang aturan yang hanya memidanakan mucikari dalam bisnis prostitusi itu. Pemerintah menganggap ketentuan yang dipersoalkan Pemohon sesuai asas legalitas yang dianut KUHP. Asas ini menjamin tiada seorang pun dapat dipidana, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan. Sebab, KUHP saat ini tidak menetapkan perbuatan hubungan badan antara perempuan dan laki-laki dewasa sebagai tindak pidana.

Menurut Pemerintah, jika aparat hukum tidak menetapkan pihak yang meminta dicarikan perempuan dan perempuan yang diajak berhubungan badan sebagai tersangka/terdakwa, itu lebih sebagai wujud penerapan asas legalitas. “Karena itu, permohonan ini tidak terkait isu konstitusionalitas, tetapi terkait teknis penegakan hukum dan lebih pada isu politik hukum negara,” kata Erryl dalam persidangan di MK, Selasa (8/3).

Ketika memberikan nasihat, Majelis MK yang diketuai Anwar Usman mengkritik pandangan Pemerintah yang cenderung normatif dan tidak responsif terhadap perkembangan masyarakat mengenai maraknya prostitusi. Apalagi, RUU adalah usul pemerintah yang sudah bergulir ke DPR. Seharusnya, materi RUU KUHP sudah banyak kemajuan termasuk menyikapi ketentuan mucikari.

“Isi jawaban itu, kayaknya kok ‘gersang’ banget sih. Ini kan perkembangan masyarakat kita, KUHP ini seharusnya sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Sepertinya, nilai-nilai filosofis soal ini enggak disentuh (disinggung) sedikit pun dalam jawaban Pemerintah,” kritik anggota majelis, Patrialis Akbar.

“Saya prihatin melihat jawaban Pemerintah ini. Ini mungkin kuasa hukum Pemerintah banyak yang baru. Sekali lagi, Anda tidak dalam kapasitas berlawanan dengan Pemohon, tetapi kita ingin mengungkap nilai-nilai kebaikan, kemuliaan, kesucian yang ada di masyarakat melalui forum ini,” ujarnya mengingatkan. Patrialis memang pernah menyebut permohonan ini bernilai moral tinggi untuk membentuk hukum ke depan.

Anggota Majelis lain, Wahidudin Adams mempertanyakan tanggapan pemerintah yang menilai permohonan ini lebih pada persoalan isu politik hukum negara. ”Politik hukum negara ini (RUU KUHP, red) sedang dibahas, bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP. Nah, bagaimana politik hukum negara ini tentang tindak pidana kesusilaan?” ujar Wahidudin.

Dia mengakui Pasal 483 ayat (1) RUU KUHP terkait tindak pidana perzinahan sudah disinggung dalam jawaban pemerintah. Namun, persoalan praktik prostitusi ini tidak dielaborasi lebih jauh. “Tadi sudah disinggung pasal itu. Ini yang perlu dipertajam, dikembangkan, sehingga isu tindak pidana kesusilaan itu yang perlu dijawab dalam Rancangan KUHP seperti munculnya isu masalah santet, hukuman mati. Ini sudah kita mintakan di sidang perbaikan kemarin agar dipertajam,” kata Wahidudin mengingatkan.

Sebelumnya, lewat kuasa hukumnya, terdakwa Robby Abbas mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Alasannya, kedua pasal itu dinilai tidak adil karena hanya mempidanakan orang yang mencarikan jasa prostitusi (mucikari), tetapi tidak bisa memidanakan pekerja seks komersil dan pengguna jasa prostitusi atau pihak yang memperoleh kenikmatan seksual itu.

Pasal 296 KUHP menyebutkan “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Sedangkan Pasal 506 KUHP menyebutkan Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Menurut pemohon, selama ini sanksi bagi pengguna jasa prostitusi hanya diatur melalui Peraturan Daerah. Karena itu, pemohon meminta Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP dimaknai agar setiap tindakan pencabulan dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa atau menarik keuntungan, atau  memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara.
Tags:

Berita Terkait