Hal-hal yang Patut Dipahami dalam Penyusunan Legal Due Diligence
Berita

Hal-hal yang Patut Dipahami dalam Penyusunan Legal Due Diligence

Due diligence menjadi guidance yang akurat kepada para pihak yang ingin bertransaksi.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Prasetia Mulya, Rio Christiawan, menjadi nara sumber dalam acara Hukumonline Academy, Jumat (8/1).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Prasetia Mulya, Rio Christiawan, menjadi nara sumber dalam acara Hukumonline Academy, Jumat (8/1).

Legal Due Diligence atau Uji Tuntas (LDD) adalah proses mengkaji dan menganalisa dokumen-dokumen suatu obyek transaksi/target (pada umumnya perusahaan) untuk menilai kepatuhan target tersebut dari segi hukum (baik berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar perusahaan, perjanjian-perjanjian, dan lain-lain) dengan tujuan memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi.

LDD biasanya diperlukan untuk transaksi terkait perjanjian seperti merger dan akuisisi, jual beli saham/aset, pembiayaan, pasar modal, pastisipasi dalam tender, pembelian NPL, pengalihan partisipasi interest (pada perusahaan migas), dan lain sebagainya.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Prasetia Mulya, Rio Christiawan, due diligence adalah proses penjajakan risiko dan potensi ekonomi antar dua pihak atau lebih. Dalam proses penjajakan ini, setidaknya terdapat enam hal yang harus diperhatikan ketika penyusunan due diligence dilakukan.

Pertama, menghindari surprising factor. Rio mengatakan bahwa dalam transaksi para pihak harus memahami tentang objek transaksi. Dalam due diligence, para pihak wajib membuka diri dan membuka data guna menghindari cacat tersembunyi.

“Ketika transaksi merger, atau ambil alih aset saham, tidak ada namanya surprising factor lagi. Ketika transaksi dilakukan para pihak sudah aware tentang objek transaksi, dalam due diligence hrus membuka diri, membuka data untuk menghindari cacat tersembunyi, kalau para pihak menutupi dan tidak terbuka nanti berpotensi muncul masalah di kemudian hari karena klaim ada cacat di kemudian hari,” katanya dalam acara Hukumonline Academy, Jumat (8/1).

Kedua, memproteksi nilai komersial aset. Dalam due diligence, secara komersial dengan segala risiko atau kondisi yang melekat pada aset, para pihak akan memproteksi nilai komersial aset. “Misalnya, membeli rumah dengan kondisi utuh punya pagar dan genteng tidak bocor, akan berbeda dengan membeli rumah yang pagar dan gentengnya rusak,” imbuhnya.

Ketiga, menentukan klausula dalam perjanjian. Due diligence dapat menentukan klausula dalam perjanjian. Klausula bisa didasarkan pada condition precedent dan condition subsequent.

Condition presedent adalah klausula tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh debitur sebelum kreditur melakukan transaksi. Sementara condition subsequent adalah klausula yang mengatur syarat-syarat bisa dipenuhi ketika perjanjian berakhir. (Baca Juga: Kenali Aspek-aspek Awal Penyusunan Legal Due Diligence)

“Misalnya saya sudah setuju membeli suatu aset, tapi perizinannya belum selesai , nah kondisi yang wajib diselesaikan sebelum transaksi, maka perizinannya harus diselesaikan terlebih dahulu (condition presedent). Kalau condition subsequent itu syarat dipenuhi bersama dengan berakhirnya transaksi. Misal ada transaksi aset, tapi aset ada kerusakan minor dan perlu perbaikan yang memakan waktu enam bulan, maka transaksi dilakukan dan perjanjian berakhir setelah perbaikan selesai dilakukan,” jelasnya.

Keempat, dalam due diligence harus memperhatikan akta yang bertujuan untuk melihat struktur kepemilikan dan permodalan. Bagian ini menentukan banyak hal yakni kepada siapa transaksi harus dilakukan, apakah kepemilikan perusahaan diatur dalam Daftar Negatif Investasi (DNI).

Kelima, jika perusahaan melakukan corporate action, hal pertama yang harus diperiksa adalah perizinan. Due diligence berupaya untuk memastikan bahwa perusahaan yang diakuisisi/merger tidak berstatus ilegal dan melanggar hukum.

“Misal takeover aset properti, tapi ternyata dalam perizinan tata ruang daerah properti masuk dalam cagar budaya. Atau mau beli kebun binatang, apakah saat membangun kebun binatang tersebut pemilik lama memiliki izin yang lengkap terkait kebun binatang,” jelasnya.

Keenam, memastikan status clean and clear. Due diligence harus mampu memastikan bahwa status objek bebas dari sengketa. Langkah ini bisa dilakukan dengan melakukan pengecekan ke pengadilan setempat.

“Transaksi itu tidak ada yang sempurna, hanya dilihat risiko apakah masih affordable, kalau masih tinggal tambahkan klausula. Kalau tidak affordable itu aset sudah digugat pihak lain. Jadi due diligence memberi guidance untuk para pihak yang lebih akurat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait