Hambatan Indonesia untuk Capai Pemenuhan Target Perubahan Iklim
Kolom

Hambatan Indonesia untuk Capai Pemenuhan Target Perubahan Iklim

Khususnya melalui instrumen penataan ruang.

Bacaan 5 Menit

Hanya saja hingga kini upaya kolaborasi antar kedua kementerian tersebut belum terejawantahkan dengan maksimal dengan strategi kolaborasi yang terbilang masih terbilang minim. Hal ini menjadikan integrasi antara tata ruang dan perubahan iklim cenderung stagnan tanpa progres yang berarti, apalagi dengan belum terinventarisirnya data ecological footprint dan carrying capacity yang mutakhir.

Ketiga yakni belum berfungsinya KLHS secara optimal. Melalui UU 32/2009 dan UU 26/2007, hubungan antara perubahan iklim dengan penataan ruang dijembatani oleh satu dokumen pengkajian yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dokumen pengkajian yang mengkaji dan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana dan/atau program tata ruang.

Dalam rezim UU 32/2009, KLHS diletakkan sebagai dasar pembentukan dan penyusunan rencana tata ruang, rencana pembangunan, serta rencana perubahan peruntukan dan fungsi lahan (Pasal 19). Adapun KLHS wajib dilakukan pada penyusunan atau evaluasi atas rencana tata ruang wilayah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup (Pasal 15) dengan salah satu variabel dampak yakni perubahan iklim (Penjelasan Pasal 15). Hal ini ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 16 di mana dokumen KLHS wajib memuat di antaranya kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati (Pasal 16).

Sayangnya pada implementasinya, KLHS sendiri belum difungsikan optimal dalam mengkaji potensi permasalahan lingkungan. KLHS sering kali hanya dianggap sebagai beban administrasi dengan muatan yang seringkali sekadar copy-paste dengan proyek serupa. Keberadaannya juga acap kali hanya dijadikan momentum korupsi. Sehingga meskipun secara normatif aturan yang ada telah memadai, KLHS belum dapat difungsikan sebagai instrumen yang mampu menjawab dan mencegah persoalan lingkungan, apalagi terkait perubahan iklim.

UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu juga kemudian semakin melemahkan fungsi KLHS. Hal ini dikarenakan UU Cipta Kerja menambahkan pasal baru mengenai penataan ruang, yakni: “Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan KLHS”.

Secara gramatikal penggunaan kata “memperhatikan” tidak memiliki daya paksa yang kuat mengingat kedua unsur tersebut menjadi hanya diposisikan sebagai suatu dokumen yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RTRW. Lebih dari itu KLHS menjadi hanya ditempatkan dalam tahap penyusunan, tidak lagi dalam tahap penyusunan dan evaluasi. Sehingga alih-alih menyelesasikan permasalahan KLHS saat ini. UU Cipta Kerja justru memperlemah fungsi KLHS sehingga menciptakan permasalahan baru.

Keempat, yakni belum dipertimbangkannya asas kehati-hatian (precautionary principles) dalam perencanaan ruang di Indonesia. Asas kehati-hatian pada prinsipnya menghendaki manakala belum ada kepastian tentang dampak atau potensi kerusakan yang akan ditimbulkan dari sebuah kebijakan pembangunan, maka keputusan terkait dampak yang belum pasti tersebut tidak boleh diambil. Artinya segala bentuk kebijakan pembangunan yang dapat meningkatkan risiko pemanasan global haruslah dihindari, meski hingga saat ini belum ada ilmuan yang dapat secara pasti menunjukan seberapa serius dampak perubahan iklim nantinya. Sayangnya di Indonesia, belum optimalnya penerapan fungsi KLHS disamping masih mengakarnya budaya korupsi pada proses pengurusan izin, menjadikan asas kehati-hatian belum dapat dijadikan dasar dalam kebijakan penataan ruang di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait