Hapus Kewenangan PTUN Mengadili Fiktif Positif, UU Cipta Kerja Kembali ‘Digugat’
Utama

Hapus Kewenangan PTUN Mengadili Fiktif Positif, UU Cipta Kerja Kembali ‘Digugat’

Akan terus menjadi pertanyaan, apabila materi muatan UU Cipta Kerja yang masih dinyatakan berlaku dan menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara, tapi materinya tidak dapat diuji konstitusionalitasnya.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Persoalannya, satu sisi MK menyatakan UU Cipta Kerja masih dinyatakan berlaku selama tenggang waktu 2 tahun. Sisi lain, terhadap perkara-perkara pengujian materil UU Cipta Kerja, MK pernah memutuskan menyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak diterima dengan pertimbangan hukum UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan.

Terhadap permohonan pengujian materil tersebut tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya. Sebab, objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Karena itu, terhadap permohonan pengujian materil a quo harus dinyatakan kehilangan objek dan permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

“Jadi perkara ini menjadi sangat penting bagi MK untuk memeriksa dan memutus serta menjawab status keberlakuan materi muatan UU No.11 Tahun 2020. Apakah MK masih berwenang menguji materi muatan UU No.11 Tahun 2020 setelah terbitnya Putusan No.91/PUU-XVIII/2020?” (Baca Juga: MK Putuskan 11 Pengujian UU Cipta Kerja Lain Kehilangan Objek)

Menurutnya, akan terus menjadi pertanyaan, apabila materi muatan UU Cipta Kerja yang masih dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat (berlaku) dan menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara (para pemohon), tapi materinya tidak dapat diuji konstitusionalitasnya. “Bukankah itu bentuk pelanggaran Konstitusi? UUD Tahun 1945 mengamanatkan kepada MK yang memiliki peran sebagai The Guardian of Constitution, The Protector of Citizens Constitutional Rights, The Protector of Human Rights,” kritiknya.  

Untuk diketahui, Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan sering dipakai warga negara untuk menguji sikap atau tindakan pejabat/badan tata usaha negara termasuk merespons permohonan perizinan hingga jangka waktu tertentu. Jika peraturan tidak menentukan batas waktunya, batas waktu yang disebut maksimal 10 hari kerja sejak permohonan diterima pejabat TUN. Jika pejabat bersangkutan mendiamkan atau tidak merespons permohonan hingga jangka waktu tertentu habis, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. Ini yang lazim disebut fiktif positif. 

Selanjutnya, pemohon dapat mengajukan permohonan ke pengadilan (PTUN) agar badan/pejabat tersebut bersikap atau mengambil keputusan/tindakan. Pengadilan wajib memutuskan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 hari kerja sejak putusan ditetapkan.  

Lembaga fiktif positif adalah kebalikan fiktif negatif yang selama ini dianut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan dua Undang-Undang perubahannya (terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009). UU PTUN dan perubahannya tersebut menganut prinsip fiktif negatif jika pejabat mendiamkan permohonan warga negara berarti permohonan itu dianggap ditolak. 

Tags:

Berita Terkait