Harap-Harap Cemas Putusan Arbitrase Laut Tiongkok Selatan
Kolom

Harap-Harap Cemas Putusan Arbitrase Laut Tiongkok Selatan

Apa pun putusannya, soal rebutan pulau/karang LTS tidak akan terusik.

Bacaan 2 Menit
Damos Dumoli Agusman. Foto: Koleksi Penulis
Damos Dumoli Agusman. Foto: Koleksi Penulis
Dalam waktu dekat Arbitrase Tribunal United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) akan mengeluarkan keputusan tentang gugatan Filipina melawan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) soal Laut Tiongkok Selatan (LTS). Dalam perkara ini Filipina meminta Arbitrase memberikan tafsir terhadap 15 butir materi gugatan yang jika diperas akan terdiri dari tiga pokok gugatan. Pertama, apakah 9 dash lines yang tertera pada peta RRT bertentangan dengan UNCLOS. Kedua,  apakah pulau/karang yang dikuasai RRT di LTS berhak atas 200 mil ZEE/landas kontinen. Ketiga, apakah aktivitas RRT yang mereklamasi pulau/karang di LTS melanggar ketentuan UNCLOS yang terkait dengan perlindungan lingkungan laut.

Tidak seperti dugaan publik, putusan Arbitrase ini tidak akan memenangkan atau mengalahkan penggugat atau tergugat. Sebab karakter putusannya hanya bersifat menafsirkan pasal-pasal UNCLOS terhadap fakta hukum yang dipersoalkan. Selain itu, mandat Arbitrase ini juga sangat terbatas, dan tidak akan menetapkan siapa bakal memiliki pulau apa. Apa pun putusannya, soal rebutan pulau/karang LTS tidak akan terusik. Arbitrase juga tidak diminta untuk menetapkan batas-batas maritim negara yang bersengketa, bahkan kalau pun diminta, Arbitrase tidak mungkin melakukannya karena UNCLOS melarangnya.

Namun demikian, sekalipun bersifat tafsir, rencana putusan Arbitrase ini telah membuat RRT gusar. Sejak awal, posisinya sudah bulat menolak sidang ini dan bahkan menganggapnya sebagai peradilan ‘sesat’. Bagi RRT, gugatan ini adalah manuver yang tak pernah dibayangkan sehingga sangat tidak rela dengan proses ini. Makanya sejak awal gugatan bergulir, RRT langsung bereaksi keras dan menolak untuk hadir. Menolak hadir bukan berarti berdiam diri. Menyadari bahwa guliran ini akan menjadi ‘mimpi buruk’ maka RRT berteriak keras, bukan di ruang sidang melainkan di luarnya.

Menjelang putusan Arbitrase, kegundahan RRT semakin menjadi-jadi. Akibatnya, menjelang vonis ini RRT melakukan upaya diplomasi total, bukan untuk meyakinkan para hakim melainkan untuk mempengaruhi publik, bahwa Arbitrase ini sesat. Kampanye ini dilakukan secara sistematis di berbagai ajang. Pada wilayah diplomasi, RRT telah menggalang dukungan beberapa negara yang menegaskan bahwa sengketa LTS harus dilakukan melalui negosiasi langsung oleh pihak yang bersengketa, dan suatu negara tidak boleh dipaksa untuk menempuh mekanisme ‘di luar persetujuannya’. Sayangnya, RRT tidak terbuka pada fakta hukum bahwa mekanisme Arbitrase UNCLOS ini sudah disetujui oleh semua negara pihak UNCLOS, termasuk RRT, pada saat meratifikasinya. Walaupun demikian, dukungan politik semacam ini mungkin bisa agak meredakan kegusaran RRT walau signifikansi hukumnya nihil.

Kampanye ini mungkin efektif untuk mempengaruhi opini publik awam. Namun bagi pakar hukum, kampanye ini terkesan bernuansa politik. Substansi yang disajikan tidak menggambarkan perdebatan hukum yang sebenarnya. Apa yang di-‘curhat’-kan oleh RRT justru bukan pokok perkara yang dibahas oleh Arbitrase itu sendiri.

Pertama, RRT berulang kali mengeluhkan bahwa gugatan Filipina adalah soal kedaulatan teritori dan batas maritim, dan dengan demikian, kata RRT,  Arbitrase tidak berwenang. Padahal, keluhan ini sudah dibahas dengan sederet argumen hukum yang lengkap oleh para hakim dan bahkan sudah diputuskan dalam putusan tentang yurisdiksi pada tgl 29 Oktober 2015. Dalam putusan halaman 159 disebutkan bahwa semua keberatan RRT secara hati-hati diulas dan bahkan satu per satu dari 15 gugatan Filipina dibedah guna memastikan bahwa semua gugatan ini bukan soal kedaulatan dan batas maritim seperti yang dituding RRT. Arbitrase kemudian memutuskan bahwa ini bukan soal sengketa pulau atau batas maritim, tapi ini soal penafsiran atas pasal-pasal UNCLOS.

Misalnya, Filipina meminta Arbitrase mendeklarasikan bahwa Mischief Reef bukan berstatus karang yang berhak 12 mil laut teritorial melainkan elevasi surut yang tidak berhak sama sekali atas zona maritim. Menurut Arbitrase, siapa pun bakal pemilik Mischief Reef, Arbitrase tidak menemukan halangan untuk mendeklarasikan apakah sebagai karang atau bukan. Demikian sebaliknya, penentuan apakah ini karang atau bukan, tidak ada sangkut pautnya terhadap soal siapa bakal pemiliknya. Artinya, gugatan ini bukan soal kedaulatan dan bukan pula dimaksudkan untuk menetapkan batas maritim, melainkan soal penafsiran atau penerapan pasal UNCLOS yang terkait.

Bahkan, sedemikian hati-hatinya para hakim sehingga dari 15 gugatan itu hanya delapan gugatan yang dinyatakan hakul-yakin berada dalam kewenangannya, sedangkan sisanya yang tujuh akan diputuskan bersamaan dengan pokok perkara. Misalnya, soal gugatan apakah 9 dash line adalah ‘halal’ atau ‘haram’, Arbitrase tidak serta merta yakin bahwa pihaknya berwenang. Arbitrase harus menyentuh materinya untuk memperoleh keyakinan apakah garis putus ini berkaitan dengan soal ‘teluk historis’ yang oleh UNCLOS dinyatakan sebagai perkara yang berada di luar kewenangannya.

Kedua, RRT secara panjang lebar bercerita bahwa pulau/karang di LTS adalah milik mereka. Argumen ini tidak bermanfaat sebab gugatan Filipina bukan sedang mempersoalkan soal kepemilikan ini. Soal inti yang sedang digugat justru tidak dijelaskan oleh RRT. Misalnya, apa status zona maritim yang diklaimnya di LTS kalaupun dia memiliki semua pulau/karang itu. RRT selama ini memperkenalkan istilah ‘hak historis’ atau, dalam kaitannya dengan Indonesia, mengeluarkan istilah ‘traditional fishing ground’. Apa, dimana dan sejauh apa ruang lingkupnya, justru (sengaja) tidak dijelaskan oleh RRT. 

Pakar hukum RRT, Fu Ying dan Wu Sichun, justru cenderung ‘menakut-nakuti’ tentang misteri garis ini. Menurutnya, jika 9 dash line ini diklarifikasi saat ini maka akan meningkatkan eskalasi konflik, sehingga  menjadikan garis ini tetap misteri adalah pilihan yang terbaik saat ini. Argumen ini tentu tidak akademis. Pakar hukum lain tentu tidak akan terkesima dengan dalih ini malah sebaliknya semakin menguatkan asumsi bahwa ada keraguan di kalangan mereka sendiri tentang makna garis ini.

Ketiga, RRT selalu menuduh bahwa Filipina melanggar Pasal 4 Declaration of Code of Conduct (DoC) 2002, yakni tentang kewajiban agar para pihak menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi langsung. Artinya tidak boleh melalui Arbitrase. Tuduhan ini sudah dikupas habis oleh Arbitrase. DoC menurut Arbitrase tidak bersifat mengikat dan mustahil menghalangi para pihak UNCLOS untuk menggunakan mekanisme UNCLOS. RRT sendiri dalam berbagai kesempatan selalu mendengungkan bahwa DoC ini bukan dokumen hukum. Selain itu, sekali lagi bahwa Arbitrase tidak bermaksud menyelesaikan sengketa, namun mengklarifikasi pasal-pasal UNCLOS. Penyelesaian sengketa-nya sendiri tetap harus melalui negosiasi langsung. Dengan demikian, tudingan RRT ini menjadi tidak relevan.

Keempat, pada detik-detik terakhir, RRT justru mengeluarkan jurus yang tidak lazim dalam konteks rule of law. RRT bertekad tidak akan menaati bahkan akan melawan putusan Arbitrase. Alasannya, Arbitrase telah sesat dan dipolitisasi serta melampaui kewenangannya. Perlawanan terhadap Arbitrase, kata RRT, justru harus dilihat sebagai sikap RRT untuk menyelamatkan UNCLOS. Argumen ini tentu ekstra-yudisial dan susah disikapi secara logika hukum. Di semua sistem hukum, pengadilan-lah yang mengadili pihak yang bersengketa, bukan sebaliknya. Tentunya sikap pembangkangan terhadap peradilan ini justru akan semakin mempurukkan citra RRT ketimbang mendongkraknya. Lazimnya, negara membangkang terhadap hukum internasional namun menyangkalnya di publik. Jurus RRT ini mengakui blak-blakan bahwa pihaknya menentang hukum internasional, sesuatu hal yang belum ada preseden-nya dalam praktik negara.

Terlepas dari sikap RRT yang agak ‘galau’ menjelang keluarnya putusan Arbitrase, banyaknya penjelasan para pakar dan pejabat RRT ini patut disambut baik. Turun gunung-nya para pejabat Tiongkok, baik dalam kapasitas resmi maupun akademis, telah memperkaya spektrum wacana publik yang selama ini kering dari sisi perspektif RRT. Walaupun  tetap menyembunyikan misteri 9 dash line, setidak-tidaknya ada argumen hukum yang terlontar, yakni, bahwa hak historis di dalam garis ini tidak diatur oleh UNCLOS melainkan diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Serpihan argumen ini lebih nyambung untuk suatu diskursus hukum, walau perlu usaha ekstra untuk mengebolariskannya.

Keputusan Arbitrase ini nantinya tidak bakal menyelesaikan sengketa, namun bukan berarti tidak bermanfaat. Putusannya bahkan akan mengubah konstelasi sengketa itu sendiri karena akan memecahkan setidak-tidaknya dua teka-teki yang selama ini tak terjawab. Pertama soal klaim historis 9 dash line, kedua soal kontroversi status pulau/karang. Jika kedua teka-teki ini sudah terjawab, maka semakin memperjelas basis-basis perundingan bagi negara yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik LTS itu sendiri. Sayangnya, kejelasan basis ini justru dimaknai oleh RRT sebagai potensi ‘kerugian’. Rugi, karena klaim sejarah-nya ini mungkin benar-benar menjadi sejarah. Keputusan Arbitrase ini bagi Indonesia tidak mengubah apa pun, namun hanya mengkonfirmasi tidak ada tumpang tindih maritim dengan RRT seperti yang berkali-kali ditekankan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

Penulis adalah pengamat dan pengajar hukum internasional. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
Tags: