Hari Keluarga, Korupsi Bantuan Keluarga Miskin, dan Korupsi Keluarga
Kolom

Hari Keluarga, Korupsi Bantuan Keluarga Miskin, dan Korupsi Keluarga

​​​​​​​Idealnya, sesama anggota keluarga khususnya keluarga pejabat publik/pemerintahan dan elite politik/ekonomi, tidak saling membantu mengkooptasi kebijakan dan dana rakyat.

Bacaan 6 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Fenomena tindak pidana korupsi dan pencucian uang telah memasuki institusi terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Perkembangan terakhir menunjukan kejahatan yang melibatkan keluarga semakin masif. Geliat korupsi yang berkaitan dengan keluarga tak dapat dilepaskan dari beberapa faktor.

Pertama, mengumpulkan harta kekayaan keluarga sebanyak-banyaknya. Kedua, memenuhi keinginan atau gaya hidup anggota keluarga yang serba mewah. Ketiga, peran keluarga sebagai pembantu/perantara memuluskan aksi kejahatan dan wadah untuk menampung hasil kejahatan. Sementara itu, korupsi terkait bantuan untuk keluarga miskin membuat mereka semakin sengsara dan menurunkan kualitas hidupnya.

Korupsi Bantuan Keluarga Miskin

Pandemi covid-19 menyebabkan kesulitan menyambung hidup khususnya di keluarga miskin atau kurang mampu yang terdampak. Pertama kali Pemerintah Pusat memberikan bantuan untuk keluarga miskin sekitar April 2020 dengan adanya program Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total anggaran sekitar Rp226,63 triliun.

Kementerian sosial bertanggung jawab penuh atas pengelolaan bantuan yang disebut bantuan sosial (bansos). Program bansos sekitar Rp 148,27 triliun yang terdiri dari beberapa paket seperti Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, bantuan sosial tunai, bantuan langsung tunai desa (BLT desa), Kartu Pra Kerja, dan bantuan kuota internet untuk pelajar dan tenaga didik. Sampai Juni 2021, realisasi bansos mencapai realisasinya sebesar Rp 64,91 triliun (vide. Pernyataan Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita pada Senin (21/6/2021).

Dalam perjalannya, bansos pernah dikorupsi. Tersangkanya tidak lain Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta Ardian I M dan Harry Sidabuke selaku pihak swasta. Juliari diduga menerima uang suap sebesar Rp17 miliar dari dua pelaksanaan paket bantuan sosial (bansos), terkait sembako penanganan Covid-19.

Berbagai laporan dugaan penyelewengan bansos pandemi juga telah diterima oleh aparat penegak hukum di berbagai daerah di Indonesia. Per April 2021, ada 107 kasus aduan penyelewengan yang diterima kepolisian di berbagai daerah. Lantas, bagaimana pengusutannya? ICW menyebutkan hanya empat kasus yang diproses ke tingkat penyidikan. Di Sumatera Barat, baru-baru ini anggaran penanganan covid-19 sekitar Rp49 miliar yang diduga mark updihentikan Polda Sumbar dengan alasan bukan tindak pidana.

Sekilas bila ditarik lagi ke lingkup yang luas, perlindungan sosial dengan bansos sejak awal penuh persoalan. Pertama, masalah data yang keluarga miskin yang tidak lengkap dimiliki pemerintah. Dampaknya, penerima manfaat yang sebenarnya ada yang tidak mendapatkan hak-haknya. Orang mampu malah memperolehnya. ICW (2020) mencatat masalah seperti pemotongan, pungutan liar, inclusion, dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update sampai urusan politisasi berkelindan di dalamnya. Kedua, soal pengelolaan bansos dan/atau anggaran penanganan covid-19 yang kurang transparan, minim informasi, dan kurang pengawasan publik. Hanya pejabat pemerintahan tertentu yang bisa mengakses data. Bahkan sekelas Kemensos saja tidak membuka data pada akses publik. Padahal prasyarat bagi kebijakan nir-korupsi adalah transparansi atau keterbukaan.

Tags:

Berita Terkait