Hari Keluarga, Korupsi Bantuan Keluarga Miskin, dan Korupsi Keluarga
Kolom

Hari Keluarga, Korupsi Bantuan Keluarga Miskin, dan Korupsi Keluarga

​​​​​​​Idealnya, sesama anggota keluarga khususnya keluarga pejabat publik/pemerintahan dan elite politik/ekonomi, tidak saling membantu mengkooptasi kebijakan dan dana rakyat.

Bacaan 6 Menit

Memaknai Hari Keluarga

Dikutip dari Tirto.id, Hari Keluarga Nasional atau Harganas dibentuk sebagai peringatan kepada masyarakat Indonesia akan pentingnya keluarga. Keluarga dianggap memiliki peran besar sebagai upaya memperkuat ketahanan nasional dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Harganas dirayakan tiap tanggal 29 Juni. Makna historiknya karena pada tanggal 29 Juni 1949, para pejuang yang terpisah dari keluarganya kala wajib militer untuk mempertahankan kemerdekaan kembali ke keluarga mereka. Tentu diharapkan setelah kemerdekaan yang telah diperoleh keluarga yang terbentuk makmur dan sejahtera tanpa terkecuali. Keluarga menjadi komunitas kecil yang memberi dampak pada esensi kemerdekaan. Salah satunya, keluarga harus antikorupsi.

Korupsi keluarga merupakan satu ironi dalam konteks manifestasi tujuan keluarga. Landskap wujud keluarga yang seharusnya menjadi tempat membangun visi dan misi kehidupan yang mulia dan bermanfaat bagi orang, bangsa dan negara lain tercoreng. Dalam kasus korupsi keluarga, anggota-anggota keluarga saling bahu-membahu menggarong uang negara/rakyat.

Dari kacamata anti-korupsi, keluarga memiliki tiga fungsi yang signifikan mencegah korupsi. Pertama, fungsi sosialisasi, yaitu fungsi untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti-korupsi. Akhir dari internalisasi nilai ialah terbentuknya karakter dan sikap anti-korupsi. Anggota keluarga tumbuh sebagai manusia yang melekat karakter kejujuran, tanggungjawab, kesederhanaan, kebaikan dan lain-lain. Berjalannya fungsi sosialisasi di keluarga dapat mengontrol hadirnya ideologi anti-korupsi. Keluarga dapat menjadi pengawas ketika tindak-tanduk anggota keluarga lain mencurigakan. Karena mustahil korupsi anggota keluarga satu tidak diketahui anggota keluarga lainnya.

Kedua, fungsi identitas sosial yang masih berkorelasi erat dengan fungsi pertama. Keluarga yang korup membentuk dan mengesankan identitas keluarga yang rela menyimpang dari prinsi-prinsip moralitas, agama, keadilan, dan hukum demi mencapai keinginan akan kekuasaan dan kekayaan. Keluarga ini membangun dan menilai kehidupan dari harta kekayaan yang dimilikinya. Keluarga yang menghalalkan segala cara yang kotor dan manipulatif untuk membentuk identitas atau strata sosialnya sebetulnya melanggar makna luhur dari tujuan berkeluarga itu sendiri. Maka, diharapkan keluarga-keluarga membentuk identitas yang sebaliknya, antikorupsi.

Ketiga, fungsi afeksi. Dalam hidup ini, ada hal fundamental yang dicari yaitu kesenangan/kebahagiaan. Secara naturaliah, manusia memang mempunyai sifat untuk mencari dan menikmati kebahagiaan/kesenangan. Namun, sebagaimana diketahui bahwa korupsi pada saatnya hanya menghidupkan kobaran api kemarahan, kebencian, serta meninggalkan penyesalan di dalam diri kita atau anggota keluarga. Korupsi juga membuka nestapa kepada pelakunya. Karena itu, berhenti melakukan tindak korupsi/koruptif wujud kecintaan kepada kehidupan.

Maka, menjadi perlu revitalisasi peran keluarga. Idealnya, sesama anggota keluarga khususnya keluarga pejabat publik/pemerintahan dan elite politik/ekonomi, tidak saling membantu mengkooptasi kebijakan dan dana rakyat, tetapi saling mendukung dan menguatkan untuk mempergunakan pengaruh demi kemaslahatan orang banyak. Urgensi pembaharuan peran ini dibutuhkan sebab keluarga sebagai lingkungan dasar untuk membentuk manusia yang anti-korupsi.

*)Korneles Materay, Peneliti Hukum BHACA

Tags:

Berita Terkait