Hasil Pembahasan Aturan PKWT dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja
Berita

Hasil Pembahasan Aturan PKWT dan Outsourcing dalam RUU Cipta Kerja

Ketentuan lebih lanjut mengenai PKWT dan outsourcing akan diatur lewat peraturan pelaksana (PP). Kenaikan upah minimum akan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas, upah minimum sektoral dihapus.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Prinsip kami, apa yang sudah diputuskan MK itu harus menjadi aturan baru, dan tidak dilakukan perubahan (dalam RUU Cipta Kerja, red),” kata mantan Deputi Presiden Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPP FSPMI) itu. (Baca Juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja terhadap Publik)

Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan outsourcing tidak lagi terikat dengan syarat-syarat sebagaimana diatur Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan atau lebih fleksibel. Bedanya, Pasal 66 ayat (1) RUU Cipta Kerja menyebut hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh didasarkan pada PKWT atau PKWTT. Artinya, perusahaan outsourcing membuka peluang bagi pekerja tetap (sebagaimana amanat putusan MK).     

Perubahan lain ketentuan UU No.13 Tahun 2003 yang disorot dalam RUU Cipta Kerja yakni pengupahan. Misalnya, mekanisme kenaikan upah minimum setiap tahun mengacu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan produktivitas. Kemudian upah minimum sektoral sebagaimana diatur Pasal 89 UU No.13 Tahun 2003 dihapus.

Mengenai pesangon, Obon menjelaskan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja hampir sama seperti UU No.13 Tahun 2003 yang mengenal pesangon. Bedanya, beban pengusaha membayar pesangon nilainya dikurangi karena pemerintah menanggung sebagian melalui kebijakan fiskal lewat program jaminan kehilangan pekerjaan. Tapi tetap pesangon hanya diberikan untuk buruh berstatus PKWTT.

Tidak beri cek kosong

Pengajar STH Indonesia Jentera, M Nur Sholikin, menilai pemerintah keliru jika menganggap persoalan PKWT dan outsourcing tidak perlu diatur pemerintah. Padahal obyek yang ada dalam perjanjian kerja adalah manusia. Jika pemerintah lepas tangan, akan menimbulkan banyak persoalan. Sektor ketenagakerjaan tidak dapat dilihat hanya bisnis saja, tapi juga kemanusiaan karena manusia memiliki hak dasar untuk hidup.

“Ini berarti pemerintah mengingkari kewajiban konstitusi untuk memberikan pekerjaan yang layak bagi masyarakat,” kata dia.

Sholikin menekankan pengaturan yang dilakukan pemerintah di sektor ketenagakerjaan sangat penting karena posisi buruh dan pemberi kerja seringkali tidak seimbang. Tapi sayangnya, posisi pemerintah sebagaimana diatur dalam RUU Cipta Kerja tidak berada bersama buruh, tapi malah berseberangan.

Menurut Sholikin, DPR seharusnya tidak memberi “cek kosong” kepada pemerintah untuk mengatur ketentuan yang belum jelas ke dalam peraturan pelaksana seperti PP. Ini artinya memberi kebebasan bagi pemerintah untuk mengatur ketentuan yang tidak disepakati oleh DPR untuk dituangkan kemudian hari dalam peraturan pelaksana.

Ketua Umum Konfederasi KASBI, Nining Elitos menilai pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi buruh yang mendesak pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan selama pandemi Covid-19 belum berakhir. Soal outsourcing, Nining mengatakan sebelum pandemi serikat buruh menuntut alih daya dihapus karena praktiknya sering melanggar aturan, begitu pula dengan praktik PKWT.

Ironisnya, selama ini berbagai bentuk pelanggaran terkait PKWT dan outsourcing itu tidak pernah ditindak secara tegas oleh pemerintah, bahkan seolah akan dilegalkan melalui RUU Cipta Kerja. “RUU Cipta Kerja ini bermasalah bukan hanya di sektor ketenagakerjaan tapi juga perpajakan, lingkungan hidup, pertanahan, kehutanan, perkebunan dan lainnya,” kata Nining.

Tags:

Berita Terkait