Hasilkan 15 UU, Kualitas Legislasi Dinilai Masih Lemah
Berita

Hasilkan 15 UU, Kualitas Legislasi Dinilai Masih Lemah

Sebanyak lima belas RUU berhasil dirampungkan dan disahkan menjadi UU. Sementara RUU yang sudah masuk dalam tahap pembahasan tingkat pertama diusulkan bakal di-carry over oleh DPR dan pemerintahan berikutnya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

RUU yang sudah masuk tahap pengambilan keputusan tingkat pertama dan siap disahkan dalam paripurna diputuskan ditunda akibat desakan masyarakat dan mahasiswa yang meminta sejumlah RUU ditunda pengesahannya dalam sepekan terakhir. Seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP); Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

 

Sementara RUU yang sudah masuk pembahasan tingkat pertama seperti RUU tentang Pertanahan; RUU tentang Daerah Kepulauan; RUU tentang Kewirausahaan Nasional; RUU tentang Desain Industri. Kemudian, RUU tentang Bea Materai; RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; RUU Larangan Minuman Beralkohol; RUU Pertembakauan; RUU Perkoperasian dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan bakal kembali dibahas DPR dan pemerintahan periode berikutnya. 

 

“Dewan berharap sejumlah RUU yang tidak dapat diselesaikan tersebut dapat dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang, mengingat mekanisme carry over sudah ada landasan hukumnya.”

 

Lemahnya kualitas legislasi

Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai capaian RUU Prolegnas kerap dibantu oleh kebiasaan DPR mengulang revisi UU yang “langganan” untuk direvisi. Seperti Revisi UU 17/2014 (UU MD3) sebanyak 3 kali. Begitu pula UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah direvisi sebanyak 2 kali.

 

Menurut Lucius, kinerja legislasi dari tahun ke tahun tak pernah mengalami peningkatan dalam hal merampungkan pembahasan sejumlah RUU dalam daftar Prolegnas. Misalnya, periode 2015-2018, DPR hanya mengesahkan tak lebih dari 20 RUU yang disahkan menjadi UU. Berbeda di 2019, sistem kebut pembahasan dilakukan di penghujung masa periode berakhirnya DPR.

 

Lucius melihat kebiasaan mengulang revisi pada periode DPR dan pemerintahan yang sama membuktikan lemahnya kualitas produk legislasi di DPR. Hal ini disebabkan pembahasan beberapa RUU tanpa melalui prosedur standar, tanpa alasan pendukung mendasar atau urgensi RUU tersebut. “Ini membongkar borok DPR yang melahirkan UU tak berkualitas karena cenderung mengakomodasi keinginan elit, bukan kebutuhan (kepentingan) rakyat,” kata dia.

 

Menurutnya, selama ini kepentingan mendasar sejumlah RUU dihadirkan secara dadakan di penghujung periode DPR. Hal ini dapat disimpulkan hanya untuk mencapai misi bersama para elit politik. Terlebih, pembahasan sejumlah RUU secara kilat bisa selesai yang tak direncanakan di akhir periode didorong karena kebutuhan elit dalam melakukan transaksi dan bargaining politik.

 

Sementara, kata Lucius, partisipasi publik secara sadar diabaikan demi memuluskan permufakatan meloloskan RUU menjadi UU. Padahal, pengabaian terhadap masukan dan partisipasi publik melawan prinsip demokrasi dan konstitusi. “Wajar saja, UU yang dihasilkan cenderung tidak berkualitas,” katanya.

Tags: