Hidup Hijau Masih Jauh di Mata Dekat di Hati
Tajuk

Hidup Hijau Masih Jauh di Mata Dekat di Hati

Kesadaran untuk merawat bumi dan keberhasilannya juga sangat tergantung dari komitmen, keterlibatan dan sikap hidup dan organisasi masyarakat sipil dan warga masyarakat, jadi bukan hanya urusan negara dan perusahaan.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 8 Menit

Karena upaya dan dampak upaya ini berbiaya tinggi, menggunakan teknologi maju, dan memerlukan kemampuan manajemen canggih, maka tentu mempengaruhi kehidupan banyak negara dan warganya, dan memerlukan jalan panjang untuk memenuhi capaian idealnya. Hampir semua, atau bahkan mungkin semua kesepakatan tersebut merupakan anjuran, dengan sistem insentif bagi yang mengikutinya, dan disinsentif bagi yang tidak dapat atau tidak mau mengikutinya. Negara kaya, yang sudah ratusan tahun menggunakan energi fosil yang merusak lingkungan, mengeruk keuntungan dari ekonomi dan industri yang mencemari lingkungan dan tidak berkelanjutan, telah menumpuk kekayaan nasionalnya, dan menjadikan ekonominya kini menjadi kuat, sehingga mampu untuk mulai sekarang beralih ke energi bersih, ekonomi dan industri hijau yang berkelanjutan.

Sebagian besar kekayaan ditumpuk dari energi fosil yang mereka keduk dari negara jajahannya, atau negara yang secara ekonomis mereka perah. Sebagian besar kekayaan juga ditumpuk dari hasil industri mencemarkan yang mereka bangun di negara-negara jajahan atau yurisdiksi luar wilayah mereka, dimana mereka berinvestasi. Bahkan sejumlah negara seperti AS, salah satu negara terkaya dan terbesar di dunia, perlu waktu lama sebelum rela untuk ikut dalam gerbong gerakan ekonomi dan industri hijau setelah Barack Obama berkuasa.

Buat negara miskin dan negara berkembang, yang mungkin juga negara bekas jajahan, yang buminya telah kerontang diperas negara kaya atau penjajah, maka ikut dalam gerbong gerakan lingkungan seringkali merupakan dilema. Penguasa mereka berjanji secara politik untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi tidak mungkin itu dilakukan bila mereka harus melupakan energi fosil yang sementara mungkin bisa mengangkat derajat keekonomian warganya. Langsung terjun membangun dan menggunakan energi bersih, baru dan terbarukan, akan menguras daya saing ekonomi mereka ke titik rendah.

Jalan keluarnya tentu beragam. Indonesia misalnya, menawarkan jalan keluar bertahap. Menggunakan energi fosil dengan pengurangan secara bertahap, dan membangun energi baru dan terbarukan secara bertahap pula, dengan janji net zero emission pada tahun 2060 atau mungkin kalau bisa lebih cepat. Negara, penguasa, tentu bisa berjanji. Perangkat legislatifnya mungkin juga bisa membuat aturan yang menerjemahkan tekad tersebut. Tetapi penguasa silih berganti, dalam rentang waktu 2 sampai 30an tahun ke depan, sehingga sampai tahun 2060 mungkin akan ada 5-6 pemerintahan dengan penguasa yang punya arah politik, rencana dan selera serta kepentingan berbeda. Niat dan kemampuan legislatif juga silih berganti, mengikuti arah politik dan kepentingan yang ikut arah angin.

Resesi ekonomi dunia, pandemi, perang dan semua dampaknya seperti tingginya tingkat inflasi, krisis pangan dan harga pangan, krisis energi dan harga energi, menjadikan prioritas negara miskin dan berkembang dalam agenda perubahan iklim dan pemanasan global menjadi berubah. Seperti juga negara maju, prioritas mereka berbelok, dan kini lebih mengutamakan kepentingan dalam negeri dahulu. Kalau ketika Trump berkuasa dia mengatakan “America first” lebih dalam konteks arogansi dalam tata hubungan internasional, utamanya perang dagang dengan China, ditambah kepentingan politik dalam negerinya, maka semboyan “my country first” saat ini lebih merupakan semboyan setiap negara dalam upaya menyelamatkan warga negaranya dari kesulitan hidup yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.

Setiap negara berebut vaksin, menutup wilayah, melakukan karantina, dan mengeluarkan kebijakan penyelamatan dalam bidang ekonomi dan bisnis, membangun jaringan keselamatan sosial, membangun sistem kesehatan yang terbukti rentan, demi menekan angka kematian dan pemulihan kehidupan. Kebangkitan ekonomi membutuhkan lonjakan kebutuhan energi yang hanya sedikit bisa diserap oleh energi baru dan terbarukan.

Dalam kondisi demikian, beban negara sungguh berat, sehingga prioritas untuk pencapaian net zero emission, pembangunan sumber daya energi baru dan terbarukan, pengembangan ekonomi dan industri hijau berkelanjutan menjadi turun ke prioritas ke sekian. Bahkan, dengan windfall profit yang diperoleh negara-negara miskin dan berkembang (mereka yang beruntung masih memiliki deposit dari bahan energi fosil) karena disrupsi rantai pasok yang terganggu, dan karena pandemi dan perang, windfall profit tersebut tidak serta merta bisa digunakan unruk mengejar target emisi. Ada semacam harapan bahwa negara-negara miskin atau berkembang yang mendapatkan windfall profit tersebut akan terbantu untuk sementara dalam menghadapi krisisnya, tetapi tidak untuk prioritas yang sama dengan komitmen mereka sebelum pandemi dan perang terjadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait