Hidup Hijau Masih Jauh di Mata Dekat di Hati
Tajuk

Hidup Hijau Masih Jauh di Mata Dekat di Hati

Kesadaran untuk merawat bumi dan keberhasilannya juga sangat tergantung dari komitmen, keterlibatan dan sikap hidup dan organisasi masyarakat sipil dan warga masyarakat, jadi bukan hanya urusan negara dan perusahaan.

Oleh:
Arief T Surowidjojo
Bacaan 8 Menit

Lebih lagi ada suatu ironi, karena tambahan penghasilan itu diperoleh di atas penderitaan berjuta umat manusia yang menjadi korban atau terdampak pandemi dan perang. Suatu negara di Afrika misalnya, mereka tidak ikut berperang, tetapi karena tidak memiliki energi fosil, dan tanahnya kering, terpaksa harus mengatasi bahaya kelaparan karena energi dan pangan yang semakin langka dan mahal. Kondisi ini memaksa setiap pemerintah memberlakukan kebijakan yang bersifat ad hoc, mengikuti arah angin demi selamat dan mampu berselancar dari dampak-dampak kedaruratan.

Dalam sistem pemerintahan yang terbuka, maka peran dunia usaha dalam membangun pilar ekonomi negara sangat penting. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat ditunjang oleh sektor swasta. Demikian juga sektor energi dan industri sebagai pencemar besar dari emisi karbon dijalankan sebagian oleh pihak swasta. Kalau negara berkomitmen tinggi untuk melaksanakan agenda perubahan iklim bersama dengan gerakan dunia, maka tingkat kesuksesannya juga akan sangat ditentukan bagaimana sektor swasta Indonesia mentaati komitmen yang sama.

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan kebijakan pemerintah yang mempunyai targat capaian net zero emission pada tahun 2060, sektor swasta suka atau tidak suka diminta menjalankan kegiatan usaha berbasis ESG (environment, social dan governance). Sebetulnya ketiga konsep ini sudah jauh hari digariskan dalam berbagai peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap sektor swasta. Misalnya Undang-undang tentang Perseroan Terbatas sejak tahun 1995 yang kemudian diubah pada tahun 2007, sudah memerintahkan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility. Demikian juga undang-undang lingkungan hidup, undang-undang minerba dan sederet peraturan perundangan dan peraturan di bawahnya sama tegasnya tentang perlindungan lingkungan hidup dan sosial, perlindungan keragaman hayati, penghargaan kepada masyarakat adat dan masyarakat sekitar tempat berusaha dan sebagainya.

Perizinan yang diberikan kepada pihak swasta juga seringkali berisikan kewajiban untuk melaksanakan upaya memberdayakan masyarakat setempat dan lingkungan hidup di sekitar tempat mereka berusaha. Di bidang governansi, begitu banyak peraturan perundangan, kewajiban dan anjuran yang diminta oleh pihak regulator kepada swasta untuk mentaatinya. Lebih kental lagi aturan, kewajiban dan anjuran yang diarahkan kepada perusahaan publik, bank dan lembaga keuangan, dan perusahaan patungan, serta perusahaan yang membutuhkan perizinan usaha dari negara.

Kewajiban untuk menerapkan sistem berusaha berbasis ESG memang sangat diperlukan untuk mengimbangi upaya pemerintah memenuhi target net zero emission. Tanpa keterlibatan swasta, target tersebut tidak akan mungkin dicapai. Target juga tidak bisa dipaksakan dengan tangan besi, karena tidak semua perusahaan mempunyai sumber daya dan kemampuan yang sama. Untuk swasta, ketaatan kepada regulasi merupakan keniscayaan, akan tetapi mencapai target ketaatan membutuhkan dana, teknologi, dan kemampuan pengelolaan yang cukup kompleks.

Perusahaan negara sekelas Pertamina, PLN, Antam, dan perusahaan swasta sekelas Adaro, mungkin tidak akan sulit untuk secara bertahap melaksanakan program ESG, dan mencari, berinvestasi dan mengusahakan bisnis baru yang lebih bisa memenuhi program ESG. Banyak perusahaan lain, dan ini mayoritasnya, akan kesulitan bila saat ini dipaksa untuk mulai melaksanakan program ESG. Sebagian tentu akan sanggup menjalankan program S dan G dari ESG mulai saat ini juga. Sebagian mungkin bisa melaksanakan program E dan G saat ini juga, atau mungkin kombinasi lain dari program ESG. Sikap dari dunia perbankan dan investor yang menutup keran pendanaan untuk usaha-usaha yang belum bisa penuh melaksanakan program E, tetapi sudah bisa menjalankan program S dan G, seharusnya perlu dilihat dari skala kebutuhan nasional, berdasarkan target net zero emission negara, kontribusi emisi karbon oleh setiap jenis usaha, kemampuan dunia usaha untuk menjalankan usaha berbasis ESG secara penuh, dan indikator lainnya yang sangat bisa diukur secara lebih berkeadilan. Gabungan antara regulasi untuk ditaati (compliance), kebijakan insentif, sumber pendanaan, dan bantuan teknologi serta tata kelola berdasarkan indikator yang masuk akal kiranya merupakan langkah yang lebih bisa berhasil, dibanding hanya mengeluarkan regulasi dan mengenakan sanksi.

Kesadaran untuk merawat bumi dan keberhasilannya juga sangat tergantung dari komitmen, keterlibatan dan sikap hidup dan organisasi masyarakat sipil dan warga masyarakat, jadi bukan hanya urusan negara dan perusahaan. Kesadaran untuk menggunakan energi ramah lingkungan, hemat listrik, berkendaraan umum listrik atau setidaknya hybrid, membatasi plastik, membangun zero corruption zone, taat hukum, melakukan bakti dan berbagi sosial, merupakan cara-cara sederhana yang bisa dilakukan segenap anggota masyarakat. Pendidikan gencar untuk hidup dalam ruang ESG bagi semua generasi karenanya menjadi vital, baik di sekolah-sekolah, kumpulan sosial, pers dan media sosial.

Kalau perusahaan merupakan makhluk ekonomi, maka manusia adalah makhluk ekonomi dan sosial, sehingga perlu dipikirkan juga untuk memberikan insentif untuk mereka yang taat pada hidup dalam rangka pencapaian target zero emission negara. Kalau saya, Anda, sudah menggunakan solar energy di rumah, mematikan listrik bila tidak diperlukan, tidak menggunakan plastik, menggunakan kendaraan listrik umum maupun pribadi, memberikan beasiswa pendidikan kepada murid tidak mampu, dan berkontribusi terhadap ketangguhan jaringan sosial, maka tentu ada harapan bahwa kita mendapat sesuatu sebagai imbalannya, misalnya jalan umum yang mulus, kendaraan umum mudah dicapai, listrik dan internet masuk desa, perawatan kesehatan dan pendidikan berbiaya rendah, atau bahkan potongan pajak yang berarti. Kalau biasanya kita mengikrarkan resolusi awal tahun untuk harapan capaian kinerja pribadi, cobalah kali ini kita masing-masing membuat resolusi tentang apa yang bisa kita lakukan untuk ikut merawat bumi yang menghidupi semua isinya.

Menyambut tahun baru 2023, marilah kita sebagai negara, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil serta warga masyarakat biasa menyadari, membuang semua arogansi dan slogan kosong, untuk menjalani kehidupan kita bersama dengan prinsip ESG atau hidup hijau berkelanjutan, secara bahu membahu. Semoga hasil yang kita capai bersama akan lebih berdampak. Selamat Tahun Baru 2023, tahun baru penuh perjuangan baru.

Arief Surowidjojo, Tokyo, 31 Desember 2022.

Tags:

Berita Terkait