Hikmahanto: Indonesia Tak Boleh Diam Soal Laut Cina Selatan
Berita

Hikmahanto: Indonesia Tak Boleh Diam Soal Laut Cina Selatan

Jika tidak melakukan protes, Indonesia bisa dianggap mengakui wilayah nelayan tradisional Cina.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Hikmahanto Juwana. Foto: RES
Hikmahanto Juwana. Foto: RES
Pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana, mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak hanya berdiam diri terkait pergolakan di Laut Cina Selatan. Terutama yang berhubungan dengan kedaulatan negara. Sebab, Indonesia mempunyai hak atas sengketa daulat di kawasan itu.

Ia mengakui bahwa Indonesia memang bukan negara yang berkaitan langsung dengan klaim Sembilan Garis Putus Cina. Tetapi, Indonesia harus berhati-hati terutama di perairan Natuna yang juga diklaim Cina. Pasalnya, perairan itu merupakan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

"Pihak Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Luar Negeri RI harus tegas terhadap ZEE dan tidak bisa diam saja. Jika Indonesia tidak protes, sama artinya dengan membiarkan bahwa Perairan Natuna merupakan traditional fishing groundCina," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (13/6).

Pada 21 Maret 2016, kapal nelayan Cina, Kwang Fey, ditahan. Pemerintah Cina beranggapan, kapal itu masih berada di wilayah tradisional nelayan yang telah dilalui sejak zaman dinasti kuno Cina. Begitu pula pada penangkapan 27 Mei 2016, saat kapal Cina, Gui Bei Yu, dicegat. Kejadian ini yang kemudian mendapat protes dari Pemerintah Cina. Hikmahanto menilai, hal ini mengindikasikan bahwa Cina ingin menegaskan Sembilan Garis Putus dengan Indonesia.

"Dari indikasi insiden penangkapan nelayan China di ZEE, mengindikasi bahwa Pemerintah Cina mengatakan bahwa harusnya nelayan Cina tidak diproses hukum karena masih berada dalam wilayah traditional fishing. Muncul indikasi bahwa seolah ada tumpang tindih 9-dashed line yang bersinggungan dengan ZEE," kata Hikmahanto.

Mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laks TNI (purn) Marsetio menambahkan, kapal nelayan Cina tertangkap di perairan Indonesia dengan lokasi yang hampir selalu sema sejak 2010 lalu. Ia menuturkan, Cina tidak hanya mengklaim Sembilan Garis Putus, tetapi juga menggembar-gemborkan adagium one belt one route. Menurutnya, Cina memang sedang meminta dukungan banyak negara untuk menghidupkan kembali Jalur Sutera.

“Maka kita harus berupaya bagaimana dari geopolitik, Indonesia bisa mempertahankan hak berdaulat di wilayah perairan Laut Cina Selatan ini,” tambahnya.

Diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional, Hasjim Djalal, menyatakan klaim Cina tidak berdasar dan tidak jelas koordinatnya. Pemerintah Cina sebelumnya menentukan garis batas tersebut berdasarkan histori. Selain itu, sikap Cina sering kali tak jelas mengenai klaim perbatasan laut miliknya.

"Mungkin maksud Cina dengan tidak memberi penjelasan itu agar kita bingung sendiri. Jadi mereka menggunakan teori perang Sun Tzu di sini," kata Hasjim.

Hasjim menjelaskan, Cina selalu memberi penjelasan atau istilah-istilah di luar ranah hukum internasional. Mereka juga melakukan protes tidak mendasar pada Pasal 73 (2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

"Garis putus ini tidak jelas koordinatnya. Klaim garis putus ini pun berdasarkan historis atau sejarah. Tentu hal ini tidak bisa menjadi patokan," katanya.

Hasjim menuturkan, Pemerintah Indonesia tidak perlu berpretensi terhadap putusan arbitrase atas gugatan Filipina terhadap Cina di Laut Cina Selatan. Pemerintah Indonesia tidak perlu mengikuti imbauan pemerintah Cina untuk menghentikan proses arbitrase Filipina. Ia mengatakan pemerintah tak perlu menuruti himbauan Pemerintah Cina, melalui Duta Besar Cina untuk Indonesia, untuk melakukan upaya bersama atas tindakan Filipina di Laut Cina Selatan.

Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI, Damos Dumoli Agusman, mengatakan di internal pemerintah Cina pun masih ada pertentangan. Ia menilai, klaim mengenai garis putus itu belum bulat. Dirinya memberi contoh sikap Cina merujuk salah satu jawaban Mayor Jendral Yao Yunzhu. Dalam Dialog Shangri-La 2016, Yao Yunzhu menuturkan Cina secara internal masih berdebat tentang apa sebenarnya 9-Dashes Line.

"Mulanya Tiongkok mengatakan garis putus tersebut ada sembilan. Namun tiba-tiba bisa berubah menjadi 10 atau 11," lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait