Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam
Fokus

Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam

Jangan seorang advokat menjadikan kekayaan sebagai tujuan. Kisah ini kembali mengulik perjalanan advokat sebagai sebuah profesi terhormat dan membanggakan.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Tidak mungkin seorang pihak berperkara membela diri sendiri karena dia harus direpresentasikan oleh seorang barrister (pengacara). Barrister ini yang biasanya anak laki-laki kedua dari kaum bangsawan (nobility) yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya, karena itu adalah hak anak laki-laki pertama.

 

Anak kedua biasanya mencari karier di dalam angkatan perang atau hukum (the legal profession). Inilah penyebab utama dari pada kode etik tinggi yang dipertahankan ketat oleh barrister. Mereka sudah kaya, tidak butuh uang dan hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah, melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon).

 

Soal honorarium ini diterima dan diatur oleh seorang clerk. Bahkan, barrister tidak dibenarkan langsung berhubungan dengan klien. Ini dianggap bisnis dan tugas dari pada solicitors yang tidak berstatus profession. Honorarium barrister diatur oleh solicitor dengan clerk dari pada barrister. Solicitor punya kantor, sedangkan barrister punya chambers, sama seperti hakim.

 

Masih menurut Soemarno dalam bukunya, tradisi Inggris ini berasal lebih dulu dari Romawi kuno, di mana warga kota Roma (Cives) tidak sudi bekerja. Semua pekerjaan dikerjakan oleh budak (slaves), kecuali pekerjaan-pekerjaan halus seperti kesenian, kedokteran, dan hukum yang dapat dikerjakan oleh Cives atau Particiers.

 

(Baca Juga: Batasan Hak Imunitas Advokat, Begini Pandangan Ahli)

 

Dari situ lah tercipta istilah operate liberalis atau artes liberalis, yaitu artinya pekerjaan-pekerjaan kehormatan yang dapat dikerjakan oleh orang bebas (liber) dan terlarang bagi slaves. Pekerjaan-pekerjaan terhormat opera liberalis tersebut, antara lain pekerjaan-pekerjaan di bidang hukum dan kedokteran.

 

Di Indonesia sendiri, istilah profesi advokat baru mulai sekitar tahun 1970-an. Kala itu, cabang-cabang PERADIN seminar dan diskusi untuk membahas definisi profesi advokat dan kategori apa saja yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengklasifikasikan advokat sebagai profesi di Indonesia.

 

Dalam suatu seminar, sebagaimana dikutip dari buku "Profesi Advokat" yang ditulis Soemarno, muncul beberapa masukan dan referensi definisi advokat. Beberapa di antaranya dikemukan oleh Soetandyo Wignjosoebroto MPA dan Delma Juzar SH. Soetandyo sejak simposium Lembang Bandung tahun 1975 sudah mempunyai definisi:

Tags:

Berita Terkait