Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam
Fokus

Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam

Jangan seorang advokat menjadikan kekayaan sebagai tujuan. Kisah ini kembali mengulik perjalanan advokat sebagai sebuah profesi terhormat dan membanggakan.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Walau begitu, tidak dapat dipungkiri ada sejumlah advokat yang melakukan tindak pidana korupsi. KPK mencatat tujuh perkara korupsi yang melibatkan advokat sepanjang tahun 2004-2017. Sebagian besar adalah kasus suap. Namun, baru pada 2018, KPK menyeret advokat sebagai tersangka kasus menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice.

 

(Baca Juga: Baca Juga: Selain KPK, Komwas Peradi Pun Bahas Dugaan Ijazah Palsu Fredrich Yunadi)

 

Sebenarnya beberapa tahun lalu, KPK juga pernah mengenakan Pasal 21 UU Tipikor kepada advokat. Akan tetapi, advokat tersebut bukan warga negara Indonesia, melainkan Malaysia, Mohammad Hasan bin Khusi. Hasan merupakan pengacara dari istri mantan Bendaraha Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni.

 

Selain KPK, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 22 advokat yang terjerat kasus korupsi sejak 2005. Sebanyak 16 kasus ditangani oleh KPK, lima kasus ditangani oleh Kejaksaan, sisanya satu kasus ditangani oleh Kepolisian. Dari keseluruhan kasus, setidaknya terdapat tiga kasus obstruction of justice, di mana dua di antanya ditangani KPK.

 

No

Kategori Tindak Pidana

Jumlah

1

Suap

16

2

Memberikan keterangan tidak benar

 2

3

Merintangi penyidikan perkara korupsi

4

Sumber: ICW

 

Publik mungkin masih mengingat sederet advokat yang terjerat dalam kasus suap Gayus Tambunan, Saipul Jamil, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar. ICW berpendapat, sepintas perbuatan itu seolah-olah dilakukan demi kepentingan klien. Padahal suap-menyuap sendiri sudah merupakan tindak pidana, terlepas dari siapa yang memberikan suap.

 

Ditambah lagi dengan beberapa kasus lainnya, seperti OC Kaligis, Mario Cornelio Bernardo yang menyuap pegawai Mahkamah Agung (MA), dan terakhir Fredrich yang diduga melakukan obstruction of justice dalam kasus Novanto. ICW menganggap, penetapan Fredrich sebagai tersangka kembali mencoreng citra profesi advokat yang disebut officium nobile.

 

Padahal, mengangkat kembali derajat advokat agar terhormat bukan perkara mudah. Dahulu, belum ada UU Advokat yang melindungi dan mengatur keberadaan advokat secara tersendiri. Belum ada pula aturan mengenai hak imunitas advokat. Aturan pengawasan advokat pun masih menginduk kepada UU Kekuasaan Kehakiman.

 

Namun, berkat kerja keras para advokat pendahulu dan sejumlah pihak, Rancangan UU (RUU) Advokat dapat dibahas dan akhirnya disahkan. Mendiang Adnan Buyung Nasution, dalam bukunya "Pergulatan Tanpa Henti: Pahit Geit Merintis Demokrasi" (Aksara Karunia, 2004) menuliskan bahwa pembentukan UU Advokat harus melalui perjalanan panjang selama puluhan tahun sejak diagendakan oleh PERADIN.

 

Pembahasannya juga tidak dapat mulus karena pemerintah orde baru mau ikut campur dalam memberikan misinya. Buyung mengatakan, RUU Advokat rancangan pemerintah orde baru sarat dengan berbagai ketentuan yang mengatur, mengawasi, bahkan menghukum advokat oleh pemerintah.

 

"Dan, yang mencolok sekali, nama 'advokat' pun ditolak. Rancangan pemerintah di zaman Menkeh (Menteri Kehakiman) Ismail Saleh namanya UU Pelayanan Hukum. Bayangkan, di situ dicampur aduk isinya. Ada advokat, pengacara praktik, pembela, dan sebagainya," demikian disampaikan Buyung dalam bukunya.

 

(Baca Juga: Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI: Jika dr Bimanesh Salah, Kami Tak Ada Ampun!)

 

Di masa reformasi, tepatnya tahun 1999, Menkeh Prof Muladi akhirnya membentuk Tim Perumus RUU Advokat. Tim itu diketuai oleh Prof Natabaya dan Buyung sebagai Wakil Ketua. Sementara, anggota-anggotanya terdiri dari para wakil organisasi profesi advokat, konsultan hukum, jaksa, dan lain-lain.

 

Prof Muladi sendiri ikut dalam tim perumus bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Perundang-Undangan kala itu, Romli Atmasasmita. Turut serta pula dalam proses pembahasan RUU Advokat di DPR, yaitu para advokat, seperti Indra Sahnun Lubis, Fred G Tumbuan, Hosein Wiradinata, dan Frans Hendra Winarta.

 

Meski era sudah berganti, Buyung menilai bukan berarti perjalanan pembahasan RUU Advokat tidak mengalami hambatan. Akibatnya, RUU Advokat tidak kunjung disahkan oleh DPR hingga berganti tahun. "Tenggat akhir Maret 2002 pun tidak tercapai. Baru dibahas 50 persen," ungkap Buyung dalam bukunya.

 

Kemudian, Menkeh berganti dengan Yusril Ihza Mahendra dan Dirjen berganti menjadi Abdul Gani. Sampai akhirnya RUU Advokat disahkan menjadi UU Advokat dalam rapat paripurna DPR tanggal 6 Maret 2003. Saat itu, Buyung mengaku merasa gembira dan bersyukur dengan lahirnya UU Advokat. Sebab, ia menilai, UU Advokat merupakan tonggak penting dalam perjuangan untuk memperkokoh peran dan fungsi advokat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

 

Bayangkan sebelum ada UU Advokat, pengawasan advokat dilakukan oleh pengadilan dan kekuasaan kehakiman. Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Oemar Seno Adji SH dalam bukunya, "Etika Profesional dan Hukum: Profesi Advokat" (Erlangga, 1991) mengungkapkan bahwa pengawasan advokat dahulu diletakkan dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman beserta UU organiknya in casu UU MA dan UU Peradilan Umum.

 

Pengawasan terhadap advokat dan notaris, bahkan sudah disinggung dalam UU No.19 Tahun 1964, UU No.13 Tahun 1965, dan UU MA sebelumnya yang telah ditiadakan dengan terbitnya UU No.14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengawasan ini diatur pula dalam UU No.14 Tahun 1985 tentang MA, di mana dalam Pasal 36 dan penjelasannya disebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap penasihat hukm dan notaris sepanjang yang menyangkut peradilan.

 

Untuk tata cara pengawasan dan penindakan sendiri dijewantahkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA-Menkeh RI No.KMA/00/VII/1987-M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dalam SKB itu diatur bahwa alasan seorang penasihat hukum dapat diambil meliputi lima hal:

 

No

Pasal 3 ayat c SKB

1

Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien

2

Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhada lawannya atau kuasanya

3

Berbuat, bertingkah laku, bersikap, bertutur kata atau mengeluarkan penyataan yang menunjukan sikap tidak hormat kepada hukum, UU, kekuasaan umum, peradilan atau pejabatanya

4

Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban atau bertentangan dengan kehormatan dan martabat profesinya

5

Melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku

Sumber: Buku "Etika Profesional dan Hukum: Profesi Advokat" (Prof Oemar Seno Adji SH, 1991)

 

Namun seiring waktu, advokat memiliki Kode Etik Profesi sendiri. Rekomendasi sanksi pun tidak lagi dijatuhkan oleh kekuasaan kehakiman atau pengadilan. Bahkan, untuk melindungi advokat-advokat beriktikad baik yang sedang menjalankan profesinya dari ancaman pidana dan perdata, UU Advokat memberikan hak imunitas (Pasal 16 UU Advokat) yang kini telah diperluas lingkup imunitasnya oleh putusan MK.

 

Selain itu, advokat juga telah membuat nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan aparat penegak hukum mengenai proses penyidikan yang berkaitan dengan pelaksaan profesi advokat. Pada 2012, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan PERADI menandatangani MoU Nomor B/7/11/2012; 002/PERADI-DPN/MoU/II/2012 Tahun 2012.

 

Salah satu pasal, yakni Pasal 3 ayat (1) MoU itu menyebutkan: Untuk proses pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) khusus terhadap advokat dalam menjalankan profesinya baik sebagai saksi maupun tersangka dilakukan oleh penyidik melalui Cabang PERADI setempat atau Cabang PERADI terdekat atau Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI dengan melampirkan uraian singkat tentang kasus posisi dari tindak pidana yang terkait dengan advokat.

 

Melihat perjalanan panjang profesi advokat di Indonesia, mungkin ajakan ini tidak berlebihan. Mari semua advokat kembali mendudukkan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat dan membanggakan. Jangan kembali mencoreng citra advokat yang sudah mulai padam dan berkali-kali memudar akibat perbuatan advokat sendiri. 

 

Tags:

Berita Terkait