HNW Menyesalkan Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dari Daftar Mata Kuliah Wajib
Pojok MPR-RI

HNW Menyesalkan Hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dari Daftar Mata Kuliah Wajib

HNW mengusulkan agar pemerintah segera mencabut dan mengevaluasi secara menyeluruh Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh Menkumham untuk mengakhiri polemik dan kegaduhan.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. Foto: istimewa.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. Foto: istimewa.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. menyayangkan berulangnya kecerobohan dalam pembuatan peraturan. Sebelumnya, kecerobohan terjadi pada kasus hilangnya ‘frasa Agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Kini, kecerobohan tersebut terjadi pada hilangnya Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib untuk perguruan tinggi, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021.

 

HNW sapaan akrab Hidayat mengusulkan agar pemerintah segera mencabut dan mengevaluasi secara menyeluruh Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh Menkumham untuk mengakhiri polemik dan kegaduhan. Menurutnya, menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi, adalah suatu hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

 

HNW melanjutkan, upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yang akan memperbaiki kesalahan tersebut dengan merevisi PP No.57/2021 tidaklah memadai. Apalagi, sebelumnya Kemendikbud juga melakukan kesalahan fatal dengan menghilangkan frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional. Karena itu perlu dilakukan evaluasi mendasar dan menyeluruh, setelah hilangnya frasa agama, dan kini Pancasila serta bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib; di tengah gencarnya pemerintah memerintahkan rakyat untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme, dan radikalisme. “Peristiwa bermasalah itu tentu bukan hal yang biasa saja dan bisa menjadi sangat serius,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (17/4/2021).

 

HNW menuturkan bahwa evaluasi menyeluruh dan pencabutan terhadap PP tersebut perlu dilakukan agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan oleh Pemerintah tidak lagi dilakukan secara grasah-grusuh, mengabaikan prinsip kehati-hatian, dan profesionalitas.   

 

“Ini untuk memastikan bahwa peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan ini agar diberi sanksi. Karena masalah itu tidak hanya mispersepsi seperti disampaikan oleh Mendikbud, tetapi adanya proses persiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan undang-undang dibiarkan sampai ke meja Presiden bahkan sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh Menkumham. Kalau kesalahan fatal soal aturan resmi terkait pendidikan ini tidak dikoreksi dengan serius, ini akan menjadi teladan buruk dan pembelajaran negatif bagi mahasiswa, dunia pendidikan, dan bahkan masyarakat pada umumnya,” Hidayat menambahkan.

 

Diperlukan Pencabutan Resmi

HNW juga menyayangkan sikap Mendikbud dan Presiden Jokowi yang tidak teliti sebelum memproses Rancangan PP itu dan menandatanganinya. “Kok bisa PP yang tak sesuai dengan UU tersebut bisa sampai ke Presiden dan akhirnya ditandatangani oleh Presiden? Seharusnya hal ini tidak akan terjadi apabila seluruh proses berjalan dengan prinsip amanah atau profesional, teliti, dan hati-hati,” katanya.

 

HNW menilai upaya untuk mengkoreksi PP bermasalah ini tidak bisa sekadar menggunakan siaran pers sebagaimana sudah dilakukan Kemendikbud, tetapi melalui pencabutan resmi untuk merevisi PP tersebut oleh Presiden. Ia khawatir bila itu tidak dilakukan, PP ini akan bernasib sama seperti Perpres No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang membolehkan investasi miras—yang secara lisan Presiden menyatakan mencabut, tetapi tidak dilanjutkan dengan proses koreksi legislasi.

Tags: