HRS Dihukum Denda di Kasus Megamendung, Divonis 8 Bulan di Kasus Petamburan
Utama

HRS Dihukum Denda di Kasus Megamendung, Divonis 8 Bulan di Kasus Petamburan

Tim kuasa hukum Rizieq Shihab dan JPU sama-sama menyatakan menggunakan waktu selama tujuh hari untuk pikir-pikir, sebelum menentukan sikap mengambil langkah hukum banding atau menerima putusan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 3 Menit
Habib Rizieq Shihab (HRS). Foto: RES
Habib Rizieq Shihab (HRS). Foto: RES

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan pidana denda sebesar Rp20 juta. Jika tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 5 bulan karena terbukti melanggar protokol kesehatan dan menghalang-halangi petugas COVID-19 saat mendatangi pondok pesantren miliknya di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Muhammad Rizieq Shihab terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana denda sejumlah Rp 20 juta subsider 5 bulan kurungan,” ujar hakim ketua Suparman Nyompa, saat membacakan surat putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (27/5).

Pertimbangan memberatkan yaitu tidak mendukung pemerintah dalam percepatan pencegahan COVID-19. Sedangkan pertimbangan yang meringankan adalah ia memenuhi janji tidak membawa simpatisan saat sidang sehingga proses persidangan bisa berjalan tertib.

Ada pertimbangan majelis yang menarik perhatian dalam putusan ini, yaitu mengenai adanya diskriminasi dalam penerapan hukum pada pelanggar protokol kesehatan. Menurut majelis, dalam upaya memberikan efek jera dan ketertiban telah kembali terjaga maka penjatuhan sanksi pidana badan sebagai ultimum remedium tidaklah diperlukan lagi. (Baca: Dakwaan Habib Rizieq, Mulai dari Hasutan Hingga Dituding Buat Onar)

Hal ini melihat pada pelanggaran protokol kesehatan yang telah terjadi di mana-mana dan Satgas COVID-19 dengan kewenangannya telah banyak menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi sosial yang bersifat humanis. Alasannya tidak seorang pun berniat untuk tidak mematuhi aturan pemerintah berkenaan dengan kesehatan masyarakat.

Majelis berpendapat dari keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan menyatakan banyak terjadi kerumunan yang disinyalir melanggar protokol Kesehatan, namun tidak dihukum. Oleh karena itu ia menilai adanya diskriminasi yang dilakukan pihak berwenang berkaitan dengan masalah tersebut.

“Menimbang bahwa mencermati fenomena tersebut majelis berpendapat sebagai berikut, telah terjadi ketimpangan perlakuan atau diskriminasi yang harusnya tidak terjadi di dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang mengagungkan dirinya sebagai negara hukum bukan negara kekuasaan,” terang majelis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait