‘Hujan’ Asas Hukum di Panggung Sidang Mahkamah Konstitusi
Sengketa Pilpres 2019

‘Hujan’ Asas Hukum di Panggung Sidang Mahkamah Konstitusi

Asas reo negate actori incumbit probatio berarti jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Tidak hanya di situ, asas-asas berbahasa asing sebenarnya sudah digunakan oleh Eddy sejak awal menyampaikan keterangannya sebagai ahli dalam sidang di MK tersebut. Pada poin kedua keterangan yang disampaikan, Eddy telah menggunakan asas primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis yang berartiperkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.

 

Asas itu muncul ketika Eddy mencoba menafsirkan substansi pasal 24C UUD Tahun 1945 secara gramatikal. Menurut Eddy, kewenangan MK secara limitatif adalah memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. “Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dan terang menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar menurut Pemohon. Dengan demikian secara muatis mutandis, fundamentum petendi yang dikonstruksikan oleh Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil perhitungan suara,” urai Eddy.

 

Baca:

 

Selanjutnya saat menggugat pendekatan Kuasa Hukum Pemohon yang mendalilkan kecurangan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai contoh dari putusan MK yang berani mendiskualifikasi pasangan calon, Eddy menggunakan asas nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Artinya, menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut. Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa Kontinental bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.

 

Menurut Edy, setiap perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula. Hal ini ia dasarkan pada asas Judicandum est legibus non exemplis yang berarti, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh. Eddy menilai pendekatan yurisprudensi yang digunakan oleh kuasa hukum pemohon terhadap sengekta PHPU Presiden – Wakil Presiden terlebih dahulu perlu dicarikan kesesuaiannya secara relavan. Jika tidak hal itu tidaklah tepat.

 

“Hal ini didasarkan pada postulat citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation. Artinya, penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut. Kedalaman makna postulat ini adalah penggunaan putusan hakim sebelumnya dapat dijadikan yurisprudensi jika pokok perkara yang disengketakan adalah sama,” Eddy mengurai.

 

Masih dalam persoalan yang sama, Eddy mengingatkan Majelis Hakim MK untuk tidak terjebak dengan pendekatan yang digunakan oleh Kuasa Hukum Pemohon. Ketika Kuasa Hukum Pemohon dianggap berulang kali menggunakan contoh Pilkada sebagai rujukan dalam perselisihan hasil MK, Eddy menggunakan asas ubi eadem ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium. Artinya, jika terdapat alasan hukum yang sama, maka berlaku hukum yang sama. Menurut Eddy, pendekatan ini terpatahkan jika menggunakan pendekatan argumentum a contrario. Dengan begitu ia berkesimpulan bahwa jika alasan hukumnya berbeda, maka tidak beralasan untuk menggunakan hukum yang sama.

Tags:

Berita Terkait