Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VI)
Kolom Hukum J Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VI)

Artikel ini kelanjutan dari artikel sebelumnya yang sedang mempertanyakan, apakah kata “bertindak” dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan meliputi juga tindakan “pengurusan”?

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Kalau kita konsekuen dengan apa yang disebutkan di atas, maka untuk tindakan pengurusan pun suami harus mendapat persetujuan dari isteri, dan isteri dari suami. Apa betul begitu? Apakah untuk membetulkan talang yang bocor suami harus minta persetujuan isteri lebih dahulu? Apakah untuk memanggil tukang kunci untuk membetulkan kunci yang rusak, isteri perlu mendapat persetujuan dari suami lebih dahulu?

 

Mestinya tidak, tetapi apa memang begitu yang dikehendaki oleh UU Perkawinan? Untuk itu kiranya kita perlu melihat maksud pembentuk undang-undang, melalui peraturan pelaksanaan atas Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan.

 

Berdasarkan redaksi Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan di atas, kita juga punya dasar untuk mempertanyakan, apakah untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda dagangan, suami atau isteri perlu persetujuan dari suami atau isterinya?

 

Betapa tidak praktis dan repotnya, kalau disyaratkan seperti itu. Mestinya untuk tindakan pengurusan (beheer) tidak perlu begitu, tetapi untuk pastinya kita perlu lihat bagaimana bunyi ketentuan pelaksanaannya.

 

Praktik yang ada

Dalam praktik notariat -sesudah tahun 1974-  sepanjang penulis tahu, para notaris pada waktu membuat Surat Keterangan Waris menyatakan, bahwa pewaris telah menikah untuk pertama dan terakhir kalinya (kalau pewaris hanya menikah satu kali) dengan Nyonya ……., tanpa membuat perjanjian kawin dan karenanya terjadi campur harta secara bulat.

 

Redaksi seperti itu sudah bisa diduga mendasarkan kepada prinsip, bahwa atas harta warisan pewaris masih berlaku hukum harta perkawinan menurut KUH Perdata. Kalau pewaris adalah orang yang tunduk pada KUH Perdata, karena dalam hukum waris berlaku asas, atas harta warisan diterapkan hukum yang berlaku bagi pewaris pada saat ia meninggal dunia.

 

Bahkan Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu pertimbangannya mengatakan, bahwa: “sekalipun UU No. 1 tahun 1974 telah berlaku, tetapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaan dan hingga kini peraturan pelaksanaan yang mengatur sebagai pengganti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) belum ada, maka bagi penggugat dan tergugat yang adalah warga negara Indonesia keturunan Cina masih berlaku ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang tercantum dalam KUH Perdata (BW)”.[1]

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait